Setiap langkah yang saya ikhlaskan tidak membuat hati saya tenang, melainkan teringat akan tanggung jawab yang kian gugur seutas demi seutas. Saya menghadap timur, mempertemukan kening saya dengan ubin rumah. Berharap dengan ini Tuhan dapat mengetahui isi kepala saya, dan membasuh segala jenis elemen najis yang ditolak di tanah kekal nanti. Lalu pagi harinya saya bangkit, menoleh ke arah barat. Sekedar memastikan matahari tidak timbul dari arah sana. Saya hanya takut, segala yang telah saya rusak tak sempat diperbaiki dengan tangan saya sendiri. Setelahnya baru saya menangis. Tidak tahu harus mulai dari mana. Terlalu rumit, semua tampak kusut untuk ditanggulangi. Saya semakin ciut. Semakin menatap muka mereka, semakin mengecil tubuh saya di hadapannya. Malu. Demi Tuhan, saya malu dengan mulut saya, pikiran, tangan, dan segala aspek yang membuat saya berlagak bijak, wibawa, paling benar, dan menjadikan saya seperti mesin pemecah masalah. Maaf beribu maaf. Saya miskin, jiwa saya
PENIKMAT OMONGKOSONG