Malam hari, pikirannya kalut. Tidak ada yang akan membuatnya lebih baik selain merokok. Tapi ia tidak bisa, sebuah infeksi saluran pernapasan yang diidapnya membuatnya tidak boleh merokok lagi.
Ia dilema. Tangannya basah. Sedari tadi mondar mandir di depan rak bukunya.
Mungkin tak apa jika hanya sebatang, pikirnya. Tapi sekelebat ia membantah, lalu mengamini lagi. Demi dewa langit, tak apa jika hanya sebatang ! ia menghardik dirinya sendiri dalam hati.
Ia ambil sebatang rokok sisaan yang ia sembunyikan di antara buku-buku itu. Ia menuju keluar, duduk di kursi plastik reyot di balkon rumahnya.
Ia menyalakan korek, dibakarnya rokok itu dengan khidmat. Tembakau kering itu meletek seiring bersentuhan dengan api, lalu dihisapnya dalam-dalam. Ia mendesis, membiarkan asapnya masuk menjalar ke seluruh rongga paru-parunya. Nikmat, katanya.
Lalu perlahan-lahan ia hembuskan asap yang sudah merasuki tubuhnya, berupa gumpalan yang menyerupai awan kecil. Sedikit demi sedikit, hingga keluar seutuhnya. Gumpalan awan itu kini terbang, beriringan dengan nyawa lelaki itu yang pula ikut mangkat. Melayang-layang, dan pecah ketika menabrak objek yang menghalanginya. Terus meninggi, melewati celah yang ada hingga setelahnya lenyap dibawa malaikat pencabut nyawa yang tengah bertugas. Kepala lelaki itu kini ringan, sebab beban yang meracau pikirannya telah pergi. Dengan itu, terukir senyum kecil di wajahnya yang pucat.
Comments
Post a Comment