Setiap langkah yang saya ikhlaskan tidak membuat hati saya tenang, melainkan teringat akan tanggung jawab yang kian gugur seutas demi seutas. Saya menghadap timur, mempertemukan kening saya dengan ubin rumah. Berharap dengan ini Tuhan dapat mengetahui isi kepala saya, dan membasuh segala jenis elemen najis yang ditolak di tanah kekal nanti.
Lalu pagi harinya saya bangkit, menoleh ke arah barat. Sekedar memastikan matahari tidak timbul dari arah sana. Saya hanya takut, segala yang telah saya rusak tak sempat diperbaiki dengan tangan saya sendiri. Setelahnya baru saya menangis. Tidak tahu harus mulai dari mana. Terlalu rumit, semua tampak kusut untuk ditanggulangi.
Saya semakin ciut. Semakin menatap muka mereka, semakin mengecil tubuh saya di hadapannya. Malu. Demi Tuhan, saya malu dengan mulut saya, pikiran, tangan, dan segala aspek yang membuat saya berlagak bijak, wibawa, paling benar, dan menjadikan saya seperti mesin pemecah masalah. Maaf beribu maaf. Saya miskin, jiwa saya miskin.
Beri saya satu alasan untuk memaafkan diri sendiri, beri saya penguatan untuk mengatakan bahwa saya salah, dan beri saya maaf. Ya. Maaf atas segala yang telah saya lakukan kepada mereka, meninggalkan mereka, mengacuhkan mereka, berlagak pongah untuk sekedar hormat ataupun pura-pura tak mendengar keluhannya.
Saya tak lagi-lagi mau bermain dengan waktu, mengkambing hitamkan dalih ataupun segala yang menjadi pelindung. Sabarlah. Saya sedang mencoba membuatnya untuk tidak kusut, setidaknya kita sama-sama sudah memegang pangkal yang sama. Sabarlah, meski terlihat lamban saya ingin berusaha. Dan saya sudah berjanji untuk membayar lunas segalanya.
Comments
Post a Comment