Skip to main content

CARA MENIKMATI LUKISAN ABSTRAK A LA PAMAN



CARA MENIKMATI LUKISAN ABSTRAK A LA PAMAN
Oleh Sukindar Putera

Entah seleraku yang payah atau bagaimana, sampai saat ini aku tak bisa menikmati lukisan abstrak sebagaimana yang paman lakukan. Sebetulnya aku sudah malas betul ke pameran semacam ini, tapi paman selalu memaksaku untuk menemaninya. Jadi apa boleh buat.

Sesampainya kami di sini, seorang pria berpakaian flamboyan sedang memberikan sambutan yang membuatku ingin muntah. Kurasa apa yang disampaikannya sangat berlebihan, terlebih ketika ia mengatakan bahwa lukisan abstrak merupakan picisan jiwa sang pelukis. Astaga. Tapi rasa mual itu tak kutunjukkan, sebab tak enak jika paman melihat. Ia terlihat sangat begitu antusias.

Lantas setelah sambutan yang menjijikan itu kami berkeliling untuk melihat-lihat. Paman tampak serius saat menatap setiap lukisan yang kami lalui.

“Aku suka yang ini,” tiba-tiba paman berhenti di salah satu lukisan. “Lukisan ini berbeda dengan yang lainnya, seperti memiliki kekuatan yang lebih!”

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Padahal kalau kulihat lamat-lamat jelas tak ada bedanya, kupikir yang membedakannya hanya letak coretannya saja. Misalnya di satu lukisan coretannya ada di sebelah pojok kanan atas, sedangkan lukisan ini terletak di pojok kiri bawah. Tidak ada yang lebih, dan yang jelas tidak ada kekuatan seperti yang paman bilang sebelumnya.

“Kau masih belum juga mengerti rupanya,” paman memergoki gelagatku, aku menoleh dan menyeringai kepadanya. “Untuk memahami lukisan abstrak,” katanya menjadi sok tahu dan menyebalkan “kau hanya perlu menarik nafas dalam-dalam, kosongkan pikiranmu dan bayangkan hal-hal yang menyenangkan. Kombinasi warna dan pola pada kanvas ini akan membawa pikiran-pikiran menyenangkan itu ke dalam jiwa pelukisnya.”

Aku menarik nafas dalam-dalam, sebagaimana yang diperintahkan oleh paman. Lalu kubayangkan Gal Gadot telanjang. Ayolah, itu cukup membuat para laki-laki senang. Kemudian kucoba ikuti alur pola dan kombinasi yang ada di kanvas ini. Dan hasilnya, ternyata masih sama saja. Malah celanaku yang tiba-tiba terasa sempit. Bajingan.

“Bagaimana?” Ternyata sedari tadi paman mengamatiku.

“Kurasa aku sedikit-sedikit mulai paham,” aku mengangguk-angguk sambil membenarkan posisi selangkangan. Tentu saja aku bohong.

“Yang terpenting lagi,” kata paman dengan wajah sok seriusnya “kau baca penjelasan lukisan ini,” ia menunjuk kotak kecil yang tepat berada di bawah lukisan itu.

Otomatis aku menepuk jidat “Astaga, Paman. Kalau ujungnya begitu mengapa aku perlu menarik nafas dalam-dalam dan melakukan hal bodoh lainnya itu!”

Saat kami tengah lengang, terdengar suara perempuan yang sedang tersedu-sedu. Kupikir ia berasal dari orang yang berada di samping kiri kami. Perempuan itu tengah menatap lukisan di hadapannya sambil menangis.

“Lihat, lihatlah! Ketika kau sudah sampai pada tahap pemahaman seperti dia, kau akan mengerti segala-galanya. Kau akan merasuki jiwa sang pelukis!”

Demi Tuhan, aku benar-benar benci dengan paman ketika menjadi sok tahu seperti ini. Dia sama berlebihannya dengan lelaki flamboyan yang memberi sambutan itu. Alasan tersebut menurutku masih tak masuk akal, bisa saja perempuan itu menangis bukan karena sedang menghayati lukisan itu melainkan karena sesuatu yang lain. Entahlah, mungkin habis diputusi pacarnya, atau bisa juga kucing kesayangannya mati, atau bahkan tak punya uang untuk bayar parkir. Ayolah, segalanya mungkin bisa terjadi.

Dengan gerakkan yang tak diduga-duga, perempuan itu menoleh ke arah kami. Kami refleks membuang pandangan ke depan. Dengan gelagat salah tingkah kemudian paman mengatakan, “jadi begitulah.” Aku menahan tawa, dia memang pandai sekali melucu.

“Sepertinya aku akan mempertimbangkan untuk membeli lukisan ini,” paman seperti kembali pada topik.

Beberapa bulan yang lalu paman juga melakukan hal serupa, masalahnya lukisan yang dibelinya waktu itu dibanderol dengan harga yang sangat fantastis. Kupikir obsesi semacam ini harus diperingatkan, aku juga tak ingin bibi memarahiku lagi karena membiarkan paman mengocek kantung terlalu dalam untuk benda semacam ini. Maka aku meminta paman untuk berpikir dua kali.
Tak lama setelah kami membicarakan hal ini, tiba-tiba pria flamboyan yang memberi sambutan itu datang menghampiri paman. Ia menanyakan apa yang dia bisa bantu. Kemudian paman menanyakan harga lukisan ini.

“Sebelum kulanjut, sudahkan bapak dan adik mengetahui siapa pelukis yang membuat mahakarya yang indah ini?” Paman menggeleng, sedangkan aku diam saja. Aku tak suka dengan pembawaannya yang terlalu dibuat-buat.

“Lukisan ini,” lanjut pria itu “Dibuat oleh seorang lelaki paruh baya yang bernama Vabian Juanos. Dia pelukis ternama yang jarang sekali memamerkan lukisannya seperti apa yang dia lakukan sekarang ini. Ohya, kau bisa bayangkan, dengan pola dan kombinasi warna seindah ini, itu semua ia ciptakan dengan kondisi matanya yang mengkhawatirkan. Jadi kau benar-benar beruntung.”

Lelaki flamboyan itu benar-benar terlihat seperti tukang obat, aku mencoba memotong kalimat lelaki itu.

“Sepertinya pamanku akan memikirkan itu nanti,” kataku kepada lelaki flamboyan itu, dan aku berbisik kepada paman “Paman, kau sudah berjanji ke sini hanya untuk melihat-lihat saja!”

“Biar kuselesaikan kalimatku dulu adik manis,” katanya sambil mengarahkan lima jarinya yang sebesar tripang ke arahku. Anjing betul, ia memanggilku adik manis. Lelaki itu kemudian melanjutkan “Kemarin sudah ada dua pengusaha besar dari Cina yang mencari karya Vabian Juanos ini, kupikir harganya tak akan sama jika ini kutawarkan kepadamu Bapak yang terhormat.”

Betul saja, paman sepakat dengan harga yang tak kalah fantastis dari lukisan yang ia beli sebelumnya. Lelaki flamboyan itu melihatku dan mengedipkan satu matanya ke arahku. Bajingan!

“Paman, kurasa kau mulai tak waras. Harga yang kau keluarkan untuk lukisan itu jelas tak sedikit, kau sadar bukan?” kataku saat kami dalam perjalanan pulang.

“Tentu saja, dan harga sebesar itu aku pikir memang sebanding dengan keindahan lukisan ini.”

“Ayolah, hentikan omong kosongmu, paman. Aku yakin kau tak benar-benar menikmati lukisan itu. Kau hanya terobsesi memilikinya, untuk kemudian memamerkannya kepada teman-temanmu.”

“Kau ini sok tahu betul,” tawa paman tergelak, ia menoleh kepadaku. “Percayalah, ini semua karena kau belum betul-betul memahami cara menikmati lukisan abstrak.”

Aku menutup pembicaraan dengan tak merespon omongan paman. Aku yakin betul, ia tak sungguh-sungguh dengan apa yang dibicarakannya barusan. Ah, terserahlah. Entah mungkin karena memang aku yang tak bisa mengerti, atau itu hanya obsesi kolektif paman saja. Aku tak perduli. Hanya saja aku tak ingin kena omel bibi karena membiarkan paman merogoh koceknya terlalu dalam***

Sodong Utara, Pertengahan November 2017



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lucid Dream

LUCID DREAM : KESADARAN DALAM MIMPI    Apa sih yang lo tau tentang mimpi? mungkin jawaban dari beberapa orang kalo mimpi ini sesuatu fenomena yang lo dapet ketika tidur. Ya bener, lo gasalah. atau bahkan ada yang bilang itu indra ke 6. Ya bener, lo beneran giting. Tapi gua disini gamau permasalahin itu, gue disini mau sharing tentang LUCID DREAM .   Mungkin sebagian dari lo banyak yang gak tau tentang ini. Bagi lo yang gak tau, lo termasuk orang yang menyesal men. sebab tuhan menciptakan otak manusia itu luar biasa, sayang kalo lo gak gunain sebaik-baiknya. Hidup cuman sekali, hargailah setiap detik lo hidup untuk mempelajar/mengetahui hal yang baru. Pernah gak sih lo ngerasain mimpi yang begitu jelas? kaya mimpi dikejar setan, atau bahkan mimpi basah  ketemu orang yang bener-bener lo sayang. Sampe-sampe lo bilang "anjir kok nyata banget", "anjir gue bisa ngendaliin mimpi", "anjir padahal bentar lagi keluar"eh .  Ya pokoknya gitu deh, itu semua be

Setan di Indonesia mengapa berbeda dengan setan di luar negeri?

SETAN INDONESIA?   Jujur gue dulu penakut, bahkan penakut yang tingkat dewa. Dulu kalau gue mau boker gue selalu minta temenin mbak atau emak, kalau gaada yang nemenin yaudah terpaksa gue boker sendiri dengan kondisi pintu yang sedikit terbuka dan aroma tai yang menjalar keluar, mengerikan ya. Trus tanpa alasan yang jelas gue selalu manggil-manggil nama orang yang ada dirumah supaya mastiin kalo gue gak sendiri, ironis ya. Tapi sekarang udah engga kaya gitu alhamdulillah, dan gak masalah buat lo yang masih kaya gitu, menurut gue itu proses pendewasaan HA-HA. Udah gitu  kalau denger anggota keluarga atau teman yang lagi cerita-cerita horror pasti aja gue nimbrung dan tertarik buat dengerinnya, udah tau penakut tapi masih sok iye lah. Tapi dari pengalaman dan lingkungan gue sendiri, gue bisa mempelajari satu hal, itulah sebabnya gue ngambil topik setan. Pernah gak sih lo mikir kenapa Kolong Wewe gaada di Jepang? apa mungkin doi takut buat diajak bikin pilem bareng Sora Aoi?