Sore itu di sela-sela derasnya kebudayaan asing yang kian menjamur, Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, telah menghidupkan kembali kebudayaannya yang telah mati suri kurang lebih selama setengah abad yaitu Wayang Cecak. Begitulah yang Azmi Mahmud, seorang seniman asli Pulau Penyengat, katakan kepada pewawancara ketika ditanya perihal sejarah kebudayaan tersebut. Ia mengaku meski tak mengenal Wayang Cecak secara langsung, tetapi telah menelan banyak informasi dari beberapa sumber, seperti Raja Malih Afrizal, Raja Suzanna Fitri dan Alm. Raja Hasan Junus merupakan nama yang disebutkan olehnya.
***
Etnis Tionghoa pada masa itu memang sudah mendominasi dalam bidang perniagaan, sisanya orang-orang Melayu di Tanjungpinang lebih memilih tinggal di pesisir pantai untuk menyambung hidup dari hasil melautnya. Di sela-sela kesibukan itu, seorang perempuan penduduk asli yang berasal dari salah satu kota kecil di sana, sedang khidmat menyaksikan pertunjukkan seni Wayang Cina.
Chadijah Terong, begitulah nama perempuan itu yang kemudian menjadi familiar di telinga masyarakat Tanjungpinang, khususnya Pulau Penyengat. Perempuan yang pernah menonton pertunjukkan Wayang Cina itu kemudian hari dikenal sebagai dalang. Ingatan atas pertunjukkan Wayang Cina yang pernah disaksikannya semasa kecil, ternyata menjadi bekal baginya untuk menciptakan sebuah pertunjukkannya sendiri yang disebut Wayang Cecak.
Ketenarannya hampir menyeluruh di seantero Tanjungpinang, hal tersebut membuatnya kerap dipanggil oleh bangsawan Tionghoa untuk menghibur anak-anak mereka. Pertunjukkan itu digemari sebab memiliki nilai kehidupan yang dapat dipetik, seperti mengandung unsur seni teater, seni musik, seni bercerita, dan kerajinan rakyat.
Wayang Cecak pada akhirnya menjadi khasanah tradisi lisan di Pulau Penyengat, dan semakin diakui keberadaannya. Alkulturasi kebudayaan Tionghoa dan Melayu ini dipertunjukkan dengan boneka yang dibuat dari cita atau kain-kain sisa. Kain itu kemudian dibentuk sedemikian rupa. menyesuaikan dengan karakter tokoh cerita yang akan dimainkan. Dalam kotak yang kira-kira berukuran 2x3 meter, boneka itu digerakkan oleh tangan Chadijah Terong dari belakang. Serupa teve, tapi boneka yang berada di layarnya digerakkan oleh manusia.
Sayangnya boneka-boneka itu hanya dipertunjukkan bagi bangsawan etnis Tionghoa saja, hanya anak-anak mereka yang dapat menikmati Wayang Cecak. Bukannya bagaimana, sebab pada masa itu pertunjukkan ini terhitung sebagai sajian yang mahal. Itulah mengapa masyarakat Tanjungpinang yang berekonomi menengah-kebawah tak dapat menikmati pertunjukkan ini.
Tak lama setelah Chadijah Terong tenar sebagai dalang Wayang Cecak, sebagaimana makhluk yang hidup di bumi, ia harus pergi untuk selama-lamanya. Kabar duka inilah yang menjadi cikal bakal mati surinya pertunjukkan itu. Sebab kepergiannya tak meninggalkan apapun untuk menjaga apa yang telah ia sajikan selama ini. Itulah yang membuat Wayang Cecak mati selama beberapa dekade, sebab tak ada generasi penerus yang tahu bagaimana cara merawat apa yang telah Chadijah Terong tinggalkan. Sampai suatu ketika, harta karun yang telah lama mati ini berhasil ditemukan dan dihidupkan kembali.
UPAYA REVITALISASI
Setelah melewati masa rekontruksi yang dikerjakan oleh tim peneliti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang bekerja sama dengan seniman tradisi yang ada di Pulau Penyengat, Wayang Cecak ini akhirnya dipentaskan kembali pada Minggu Sore, 23 Juli 2017 di acara Festival Pulau Penyengat Syawal Serantau yang dirancang oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Pertunjukkan yang terakhir dipentaskan pada tahun 1950-an ini menjadi harapan bahwa kebudayaan Wayang Cecak tak lagi hanya berada di dalam ingatan kolektif masyarakat saja, melainkan menjadi tradisi yang hidup sebagaimana pada masa kejayaannya dulu.
Syair Siti Zubaidah adalah cerita yang dipilih dalam pertunjukkan Wayang Cecak pada festival ini. Dalang yang memainkannya adalah Yola Pratama sebagai Siti Jubaidar, Robiansyah sebagai Sultan Darmasah dan Abi Ridwan sebagai Sultan Jainal Abidin. Mereka bertiga merupakan masyarakat Pulau Penyengat yang memiliki semangat tinggi untuk mempelajari kebudayaannya sendiri. Uniknya mereka belajar mendalang secara otodidak, hanya dengan mengikuti workshop ataupun seminar yang pernah diadakan pemerintah kota maupun provinsi tentang hal terkait.
Pementasan ini mendapat banyak sekali tanggapan positif. Terlihat dari bagaimana antusias masyarakat yang datang langsung menyaksikan Wayang Cecak. Mereka rela berpanas-panasan hanya untuk menyaksikan pertunjukkan itu. Hal ini membuat bangga dan menginspirasi siapapun yang datang. Hari itu seolah menggiring para penonton ke masa-masa dimana ketenaran Chadijah Terong yang menggarap Wayang Cecak begitu dinanti-nantikan.
Bedanya, pertunjukkan Wayang Cecak kali ini tak hanya dinikmati oleh para bangsawan dari etnis Tionghoa saja. Melainkan siapapun itu, dari masyarakat yang melaut sampai masyarakat yang berniaga berbondong-bondong datang ke sana. Mereka duduk bersama. Menaruh pandangan pada tempat yang sama. Di atas panggung yang didominasi warna merah itu, mereka menyaksikan sesuatu yang seharusnya telah dekat dengan mereka sejak dulu.
Meski Chadijah Terong telah lama meninggal dunia, tapi dalam dimensi yang sulit dijelaskan ia pasti sedang tersenyum. Perlahan-lahan jiwanya bersatu kembali, menjadi utuh dan hidup melalui tangan-tangan dalang yang memainkan boneka Wayang Cecak pada sore itu. Dalam penampilan yang kasat mata, ia juga ikut membuat masyarakat Tanjungpinang dan siapapun yang menyaksikan merasa terhibur.
Comments
Post a Comment