Oleh Sukindar Putera
Tumpal Marudut ternganga-nganga ketika Lasma
ibunya lewat sambil membakul sebuah keranjang cucian, matanya melotot
sebagaimana menyaksikan malaikat pencabut nyawa yang sedang menertawakan dirinya
karena sebuah kematian. Dari kerongkongannya terdengar suara mengerikan bak
sapi kurban yang baru saja digorok lehernya. Mukanya membiru, urat lehernya
keluar membentuk akar serabut. Lima menit kemudian Tumpal Marudut mati,
berbarengan dengan jeritan Lasma yang melengking.
***
Segerombol lalat malangmelintang di seonggok taik anjing yang masih hangat,
kepakan sayap mereka yang berbarengan membentuk suara berdengung yang cukup
mengganggu. Satu di antaranya yang tubuhnya lebih kecil dibanding yang lain
tidak kebagian tempat, hanya sesekali menyentuh permukaan taik lalu didepak
oleh lalat yang lebih besar lagi. Begitu seterusnya sampai ketika seorang
manusia datang menyerok taik itu, membuat lalat-lalat hilang arah meski tetap
malangmelintang.
***
Rio,
anjing manis yang bertubuh sebesar tiga kepala manusia sedang tidur di bawah
kolong meja makan. Pagi itu cukup sejuk untuk dijadikan selimut tidur bagi si
anjing pemalas sepertinya. Matahari masih malu-malu, membuat objek di bawahnya
menjadi gelap terang yang akan membuat mata terasa begitu malas.
Majikannya baru bangun, duduk di pinggir
kasur sambil mengkucek matanya. Lalu ia jalan, mengambil kantung makanan
anjing—memang itu kebiasaannya setiap pagi—lalu mengocoknya hingga mengeluarkan
bunyi “krek”. Itulah yang membuat Rio semangat bangun, dan lari menghampirinya
dengan perut kelaparan.
Setelah menyikat habis makanannya, perutnya
terasa mules bukan main. Rio berlari menuju halaman rumah, membuat lubang
dengan cakarnya untuk menumpahkan isi perutnya. Setelah meninggalkan jejak, ia
kembali ke dalam rumah untuk tidur di pagi yang masih malas.
***
Dua
sepasang kekasih, begitulah mereka mendeklarasikan hubungan ini kepada centong
nasi dan piring-piring.
“Kau masih
ingat ketika pertamakali kita bertemu?” Tanya garpu yang membuat sendok, sang
kekasih kesemsem. Tentu saja pertanyaan itu diajukan
bukan untuk benar-benar bertanya, melainkan menjadi sebuah pengantar untuk ke
arah pembicaraan yang lebih romantis.
Sekedip
kemudian mereka berciuman, membuat salah satu garpu yang lain cemburu. Itu
adalah garpu plastik, kisah cinta klasik yang sampai saat ini tidak pernah
terwujudkan.
“Takdir
memang sudah ditentukan,” katanya ketika sedang menceritakan kegundahannya
kepada centong nasi. “Garpu plastik sepertiku ini memang tidak cocok
berbarengan dengan sendok stenlis macaam dia,” tambahnya sebelum menghakiri
percakapan.
Ciuman
itu berakhir ketika seorang manusia tergesah-gesah sambil membawa piring nasi
datang. Tak seperti biasanya, ia mengambil sendok dan garpu secara acak. Sendok
stenlis dan si garpu plastik ia jodohkan untuk meloloskan makanan ke dalam
mulutnya. Sedang si garpu senlis, yang biasa dijodohkan dengan sendok itu hanya
melongo ketika mendengar garpu plastik menjerit kepada centong nasi.
“Takdir
memang sudah ditentukan!” itulah yang membuat centong nasi tersenyum.
***
Setelah
memberi makan anjingnya, Lasma baru menyadari sesuatu. Jarum pendek jam dinding
sudah menunjukan angka tujuh. Ia bergegas membangunkan anaknya untuk segera
berangkat sekolah setelah memasak dan membersihkan pekarangan rumahnya yang
dinodai seonggok taik anjing peliharaannya.
“Jangan
lupa berdoa,” kata Lasma ketika kembali masuk ke dalam rumah, dan melihat
anaknya makan seperti anjing yang rakus. Anaknya hanya mengangguk, lalu ia
segera menuju kamar mandi untuk menjemur pakaian yang kemarin malam ia cuci.
Saat ingin kembali ke halaman, langkahnya terhenti ketika melihat wajah anaknya
membiru kaku.
***
Tumpal
Marudut mengoceh sendirian, mengingat hariini ia ada ujian matematika di jam
pertama. Lantas ia mengerjakan segalanya dengan cepat; saat mandi sampo dan
sabunan dilakukan secara bersamaan, lalu diakhiri dengan menyiapkan kebutuhan
sekolah dan mengenakan seragam juga dengan cara yang bersamaan.
Setelah
berseragam rapih, ia segera menuju meja makan. Mengambil piring, garpu, sendok
dan lauk setelahnya. Semua itu juga dilakukan dengan cara yang amat cepat.
Berkali-kali ia melongok pada jam dinding, sekedar memelototi jarum jam agar
tidak berdetak terlalu cepat.
Tiba-tiba sesuatu masuk ke dalam mulutnya, membuatnya tersedak hingga tak bisa
bernafas. Ia terlalu panik untuk sekedar mengetahui jenis apa yang memasuki
mulutnya. Ia memukul-mukul dadanya, tapi tak menolong. Itulah cikal bakal
kematian seorang pelajar tingkat menengah atas, Tumpal Marudut yang tak lagi
bernyawa di depan piring nasi berlauk ikan sarden.
***
Di sela
kebingungan teman-temannya yang lain, lalat kecil itu membuntuti manusia yang
baru saja menyerok sarapan paginya. Menurutnya mungkin saja manusia itu
membawanya ke tempat penyimpanan sarapan pagi manusia di dalam rumahnya. Ia
membayangkan setumpuk-tumpuk hidangan nikmat yang beraroma lezat itu di sebuah
ruangan, untuk disantap oleh manusia-manusia yang lain juga.
“Dasar
manusia rakus,” umpatnya dalam hati.
Lalat
itu terus terbang terngiung-ngiung karena sayapnya yang kecil sebelah tanpa
seekor lalatpun yang mengikutinya. Kaliini ia akan kenyang, pikirnya. Setelah
masuk ke dalam rumah, ternyata ia mencium aroma yang lebih menggugah dari arah
meja makan.
Lantas
ia membelotkan tujuannya, menuju ke arah makanan yang beraroma lebih lezat itu.
Perut keroncongannya membuat kepakkan sayapnya lebih cepat, setelah sampai ia
langsung hinggap di sana. Menghisap segala yang bisa ia makan.
Tapi
tiba-tiba ada yang menyeroknya dari arah bawah, ia baru menyadari dan terkejut saat
sudah berada di depan mulut yang sedang menganga. Saat ingin terbang ia sudah
kepalang berada di dalam mulut itu. Terbang membentur-bentur dinding mulut. Tak
lama setelah itu, si lalat kecil tak ingat apapun lagi. Gelap dan kaku.
***
“Mengapa
kau tak pernah menyatakan ini sebelumnya,” kata sendok stenlis setelah
mendengar pernyataan si garpu plastik. Sempat lengang sesaat kemudian sendok
stenlis melanjutkan kalimatnya, “Tapi aku tak bisa meninggalkan kekasihku, aku
sudah berjanji akan menjadi pendamping hidupnya sampai akhir hayat.”
Garpu
plastik melirik ke arah garpu stenlis yang berada di ujung sana, sejajar dengan
sahabatnya si centong nasi. Lalu ia juga melihat ke arah manusia di hadapannya
yang kini sedang mematung, dan pandangan terakhirnya sengaja ia simpan kepada
sendok stenlis yang berada di sampingnya.
“Tak
apa. Kau sudah mengetahuinya saja sudah lebih cukup bagiku. Perasaan ini hanya
ingin disampaikan saja, tidak lebih. Aku mengerti bagaimana hubungan kalian
selama ini berjalan, dan aku juga tak ingin merusaknya.”
“Kau tidak keberatankan jika kita tetap bisa
berteman?” Garpu plastik mengakhiri percakapannya dengan sebuah pertanyaan,
berbarengan dengan suara melenging dari seorang manusia lainnya. Tapi ia tak
perduli, yang terpenting baginya adalah sendok stensil cantik yang ada di
hadapannya.
Rawamangun, 19 September 2016
Comments
Post a Comment