Skip to main content

Bandeng Bandeng


BANDENG BANDENG
Oleh Sukindar Putera

Setelah tak mendapatkan tali tambang, Junet Biduran menggunakan rafia untuk menggantung dirinya. Sesegera mungkin ia ingin mati. Di luar skenario Tuhan yang telah dirancang masak-masak, keputusannya sudah bulat untuk mengangkat nyawanya secara otodidak. Tanpa sepengetahuan malaikat pencabut nyawa, hari itu ia mati.

Bukan karena gantung diri dengan rafia, sebab kau tahu, tali itu bahkan tak kuat mengangkat potongan tangan Pretty Asmara. Maka setelah ia mencoba mengantung dirinya, dan yang sama-sama sudah kita tahu, rafianya putus dan ia ambruk. Ia merasa tolol. Ia pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Di situlah ia mati, saat kecoak terbang hinggap dari atas paralon ke wajahnya, ia kaget bukan main dan terpeleset hingga palanya membentur ujung bak mandi.

***

“Ada bandengnya?” Tanya Aan Garong kepada jurnalis stasiun teve lain yang sudah dulu tiba. Orang itu menggeleng, Aan Garong berdecak. Bandeng, adalah istilah yang mereka gunakan untuk menyebut sebuah mayat. Dan jika tak ada bandeng di lokasi kejadian, itu akan membuat Aan Garong kecewa. “Tak mati maka tak akan menarik,” tambahnya kepada Junet Biduran, kameramen Aan Garong, saat mengetahui apa yang ia cari tidak ada.

Karena sudah terhitung telat, mereka segera siaran langsung. Mengumumkan kepada pemirsa bahwa terjadi kecelakaan berentet di jalan menuju Cibadak, tepatnya daerah Cihuahua. Kecelakaan diduga karena kecoak terbang masuk ke dalam mobil. Pengendara tersebut kemudian hilang kendali, dan menabrak gerobak tukang cilung, dua sepeda motor, dan mobil yang ada di depannya. Macet parah terjadi akibat kecelakaan tersebut.

Junet Birduran mematikan kameranya saat Aan Garong menyebutkan kalimat kunci yang telah mereka sepakati. Setelahnya mereka mencari tempat untuk sekadar menyelonjorkan kakinya yang malas. Junet Biduran membakar rokok, sedangkan rekan kerjanya hanya melamun.

“Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, kau makin terlihat seperti pantat beruk saja,” Junet Biduran mencoba melawak, tapi sayangnya tidak lucu. Aan Garong menoleh padanya, tampa sedikitpun menarik garis bibirnya

“Kau tahu, reputasiku sebagai pembawa acara menurun, mereka bilang aku kurang dapat menarik perhatian penonton,” ada nada marah di situ “bandeng adalah senjataku untuk mendobrak rating. Kau tahu sendiri, para pemirsa butuh sesuatu yang mati, butuh melihat manusia mati, atau paling tidak mendengar manusia mati. Entah kemudian untuk berempati, atau bahkan dirayakan itu bukan urusanku.”

Junet Biduran hanya diam saja, meski sebetulnya ia juga mengamini apa yang dikatakan oleh rekannya itu. Agak sorean, mereka pulang menggunakan sepeda motor. Selama perjalanan tak banyak yang mereka perbincangkan, tidak sebagaimana hari-hari biasanya. Produser mereka tiba-tiba menelpon Aan Garong. Merekapun berhenti di depan rumah makan padang.

“Kau benar-benar mengecewakan,” hanya kalimat itulah yang terdengar oleh Junet Biduran ketika Aan Garong mengangkat teleponnya. Setelahnya Aan Garong menjauh, wajahnya tampak terlihat semakin kalut. Ia mengumpat kepada Junet Biduran setelah menutup telpon dari produsernya, mengungkapkan kekesalannya, apa yang dikatakan sebelumnya semakin terbukti sudah.

“Aku harus mencari bandeng di manapun itu,” ia menatap Junet Biduran dengan tatapan yang kosong, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan pulangnya lagi.

***

Mereka berdiri di tengah orang-orang yang tunggang langgang. Kobaran api yang membakar rumah terasa di kulit mereka meski jaraknya cukup jauh. Polisi dan pemandam kebakaran belum tiba, tempat ini tak sengaja mereka temukan saat Aan Garong kebelet kencing dan ia buang air di selokan. Suara jeritan kemudian terdengar, disusul suara asbes yang meletek akibat api yang menyulut.

Tanpa ragu Junet Biduran membakul kameranya yang sebesar mesin foging. Ia ambil semua gambar sebanyak mungkin; warga yang berlarian, detail wajah panik mereka, rumah yang dimakan perlahan-lahan oleh api, hingga suatu saat sorot kameranya berhenti pada seorang nenek-nenek. Nenek itu terlihat minta tolong, ia terjebak di balkon rumah lantai dua, sedang api sudah semakin membesar.

Dengan refleks tentu saja ia menurunkan kameranya. Dalam dadanya timbul rasa ingin menyalamatkan orang itu. Tak ada yang menyadari keberadaan nenek itu, sebab semua orang berusaha untuk menyelamatkan dirinya sendiri, pikirnya. Aan Garong menarik tangannya dengan kuat saat Junet Biduran ingin beranjak. Ia menoleh.

“Kau gila!” hardiknya sambil menampik tangan Aan Garong, “kita harus menyelamatkan dia!”

“Kau yang gila!” Aan Garong kembali mengambil tangannya, “ingat posisi kita sebagai apa. Kita seharusnya memberitakan ini semua. Kau ingin kita diludahi oleh seisi kantor karena berita sebelumnya. Kau ingin kehilangan pekerjaanmu, Hah?”

Aan Garong mengendurkan genggamannya. Junet Biduran melihat nenek yang minta tolong itu, sambil sesekali membuang pandangannya kepada Aan Garong. Mata mereka bertemu. Meski mereka berdua bergeming, seolah terjadi percakapan di situ.

Junet Biduran mengangkat kameranya, dan menyiarkan peristiwa itu. Mereka menggiring pemirsa ke dalam keadaan keos saat kebakaran. Mulai dari warga yang berlarian, sampai nenek yang terjebak itu. Semua sudah diatur dalam skenario yang dramatis. Junet Biduran maupun Aan Garong berlagak seolah mereka tak tahu keberadaan nenek itu sebelumnya. Saat menyorot ke arah nenek itu, Junet Biduran sekilas melihat matanya lewat lensa kamera. Mata sayup itu seolah menyampaikan permintaa tolongnya. Tapi yang kau harus tahu, meski tetap berlandaskan etika jurnalistik, mereka berdua mengabadikan nenek itu mati dilahap api yang mengamuk.

Suara sirine pemadam kebaran kemudian datang, jeritan warga yang panik turut membuat suasanya semakin mengerikan. Pendengaran Junet Biduran, dengan tatapan kosong karena membayangkan mata sayup itu, perlahan-lahan meredup. Suara keramaian itu seolah hilang, Junet Biduran hanyut dalam penyesalannya. Berbanding terbalik dengan apa yang Aan Garong rasakan.

***

Berita kebakaran itu mendokrak reputasi mereka berdua. Aan Garong sangat gembira, bahkan ia tak segan mentraktir seisi kantornya dengan bir murahan. Hal ini tentu saja secara tak langsung juga membuat stasiun teve tempatnya kerja ikut melambung. Kebahagiaan itu, sayangnya tak didapati Junet Biduran. Ia melamun di sebuah balkon gedung lantai tujuh belas, menghirup rokoknya sampai tempat yang tak terjamak di paru-paru, dan menghembuskannya kembali dengan kencang mewakilkan rasa penyesalannya.

Pikirannya melayang-layang, terbang terbawa angin dan jatuh pada tempat itu, di mana ketika ia membiarkan nenek itu mati begitu saja. Seharusnya, katanya dalam hati, aku bisa menyalamatkan orang itu. Dari situ ia membuang pandangannya ke rumah-rumah yang terlihat seperti miniatur, perlahan-lahan ia sapu pandangannya ke langit. Sampai di situlah ia terhenti. Dari kejauhan ia melihat gumpalan hitam. Ia tak dapat memastikan apa yang sedang dilihatnya, yang jelas gumpalan itu perlahan-lahan menghampiri tempat di mana ia berdiri. Rokok yang sedang dipegangnya jatuh, ia berlari ke dalam gedung.

***

Sebelum Junet Biduran memutuskan untuk menyudahi hidupnya, ia kerap diteror oleh hal-hal yang mengerikan. Seperti misalnya hal terakhir yang dilihatnya adalah seorang koruptor mati tersedak oleh kecoak saat meminum minuman kemasan, anggota DPR yang diduga terlibat kasus E-KTP yang sempat dilarikan ke rumah sakit akibat kecelakaan di jalan Cihuahua, juga meninggal akibat infusnya kemasukan kecoak.

Bukan dia yang meliput saat itu, sebab paska kebakaran yang disaksikannya itu ia memutuskan untuk menyudahi karirnya. Ia menjadi lebih pemurung, dan tak pernah berbicara kepada siapapun lagi. Ia menyaksikan berita itu di televisi, tapi yang jelas bukan dari stasiun teve di mana tempat ia kerja dulu. Sebab semua orang sudah tahu, untuk sementara stasiun teve itu harus vakum karena kematian masal yang terjadi tempo waktu.

Junet Biduran menjambak rambutnya, ia menjerit bak orang gila. Wajahnya sepucat kain bandeng yang kerap ia saksikan saat bekerja bersama Aan Garong dulu. Ia menangis selayaknya bocah yang tak dibolehi naik jungkat-jungki oleh emaknya. Dari situlah keputusannya bulat sudah. Ia mencari-cari tali tambang di rumahnya, untuk kemudian digantungkan ke lehernya.

***

Saat Junet Biduran melihat gerombolan hitam itu, ia masuk dan berlari terkencing-kencing. Ia menjerit-jerit, menyuruh seisi ruangan untuk segera keluar gedung. Dia lewati Aan Garong dan rekan-rekannya yang sedang minum bir murahan. Mereka semua menoleh ke arah Junet, lalu membuang pandangannya untuk saling menatap, kemudian saling mengangkat bahu. Apa yang diomongkan Junet Biduran tak terdengar dan diacuhkan begitu saja.

Tanpa pikir panjang Junet Biduran turun melalui tangga darurat, langkah kakinya sangat cepat, bahkan ia sendiri kagum dengan kecepatan yang dimilikinya. Ia telah berhasil keluar gedung ketika beribu-ribu atau mungkin berjuta-juta kecoak terbang menyerbu gedung itu. Kekacauan terjadi, Junet Biduran dapat mendengar jeritan orang yang berasal dari dalam gedung. Itulah yang memicu api datang, dan membakar seisi gedung berserta orang-orangnya.

Warga yang menyaksikan sibuk mengabadikan pemandangan mengerikan itu dengan telepon genggamnya. Menyaksikan mereka semua terbakar hangus di dalam gedung, hingga menjadi bandeng-bandeng sebagaimana yang dulu Aan Garong inginkan. Sebagaimana senjata untuk mendongkrak reputasinya, dan sebagaimana bahan untuk membuat stasiun teve di mana tempat mereka kerja menjadi idaman pemirsa.***









Rawamangun, 31 Juli 2017

Comments

Popular posts from this blog

Lucid Dream

LUCID DREAM : KESADARAN DALAM MIMPI    Apa sih yang lo tau tentang mimpi? mungkin jawaban dari beberapa orang kalo mimpi ini sesuatu fenomena yang lo dapet ketika tidur. Ya bener, lo gasalah. atau bahkan ada yang bilang itu indra ke 6. Ya bener, lo beneran giting. Tapi gua disini gamau permasalahin itu, gue disini mau sharing tentang LUCID DREAM .   Mungkin sebagian dari lo banyak yang gak tau tentang ini. Bagi lo yang gak tau, lo termasuk orang yang menyesal men. sebab tuhan menciptakan otak manusia itu luar biasa, sayang kalo lo gak gunain sebaik-baiknya. Hidup cuman sekali, hargailah setiap detik lo hidup untuk mempelajar/mengetahui hal yang baru. Pernah gak sih lo ngerasain mimpi yang begitu jelas? kaya mimpi dikejar setan, atau bahkan mimpi basah  ketemu orang yang bener-bener lo sayang. Sampe-sampe lo bilang "anjir kok nyata banget", "anjir gue bisa ngendaliin mimpi", "anjir padahal bentar lagi keluar"eh .  Ya pokoknya gitu deh, itu semua be

CARA MENIKMATI LUKISAN ABSTRAK A LA PAMAN

CARA MENIKMATI LUKISAN ABSTRAK A LA PAMAN Oleh Sukindar Putera Entah seleraku yang payah atau bagaimana, sampai saat ini aku tak bisa menikmati lukisan abstrak sebagaimana yang paman lakukan. Sebetulnya aku sudah malas betul ke pameran semacam ini, tapi paman selalu memaksaku untuk menemaninya. Jadi apa boleh buat. Sesampainya kami di sini, seorang pria berpakaian flamboyan sedang memberikan sambutan yang membuatku ingin muntah. Kurasa apa yang disampaikannya sangat berlebihan, terlebih ketika ia mengatakan bahwa lukisan abstrak merupakan picisan jiwa sang pelukis. Astaga. Tapi rasa mual itu tak kutunjukkan, sebab tak enak jika paman melihat. Ia terlihat sangat begitu antusias. Lantas setelah sambutan yang menjijikan itu kami berkeliling untuk melihat-lihat. Paman tampak serius saat menatap setiap lukisan yang kami lalui. “Aku suka yang ini,” tiba-tiba paman berhenti di salah satu lukisan. “Lukisan ini berbeda dengan yang lainnya, seperti memiliki kekuatan yang

Setan di Indonesia mengapa berbeda dengan setan di luar negeri?

SETAN INDONESIA?   Jujur gue dulu penakut, bahkan penakut yang tingkat dewa. Dulu kalau gue mau boker gue selalu minta temenin mbak atau emak, kalau gaada yang nemenin yaudah terpaksa gue boker sendiri dengan kondisi pintu yang sedikit terbuka dan aroma tai yang menjalar keluar, mengerikan ya. Trus tanpa alasan yang jelas gue selalu manggil-manggil nama orang yang ada dirumah supaya mastiin kalo gue gak sendiri, ironis ya. Tapi sekarang udah engga kaya gitu alhamdulillah, dan gak masalah buat lo yang masih kaya gitu, menurut gue itu proses pendewasaan HA-HA. Udah gitu  kalau denger anggota keluarga atau teman yang lagi cerita-cerita horror pasti aja gue nimbrung dan tertarik buat dengerinnya, udah tau penakut tapi masih sok iye lah. Tapi dari pengalaman dan lingkungan gue sendiri, gue bisa mempelajari satu hal, itulah sebabnya gue ngambil topik setan. Pernah gak sih lo mikir kenapa Kolong Wewe gaada di Jepang? apa mungkin doi takut buat diajak bikin pilem bareng Sora Aoi?