ALTERNATIF DARI ISI KEPALA YANG BUNTU
Oleh Sukindar Putera
“Kau sudah bisa mengirimnya minggu ini?” Untuk kesekian kalinya,
kawanku redaktur di salah satu media cetak menelpon.
“Itu-” jawabku sedikit tersendat “-bagaimana kalau minggu depan? Ada saudaraku yang meninggal tertabrak kereta tadi pagi.”
Sempat beberapa detik lengang, akhirnya ia kembali berbicara “Astaga. Baiklah, minggu depan kutunggu tulisanmu. Ohya turut berduka atas saudaramu itu, tentu saja itu adalah kematian yang tak diinginkan siapapun, semoga keluarganya diberi ketabahan,” setelah kami mengucap amin bersama-sama ia menutup telponnya.
“Siapa yang kau maksud meninggal tertabrak kereta?” Isteriku yang
sedang membaca buku masak favoritnya tiba-tiba berbicara.
“Tak apa, lupakan saja. Bagaimana, sudah tahu cara mengolah cumi
dengan saus tintanya?” Aku mencoba membelotkan pembicaraan.
“Jangan bercanda, ini majalah kecantikan yang kubeli tadi pagi.”
Malam ini aku tidak bisa tidur. Selain malu karena tak bisa membedakan mana buku masakan mana majalah kecantikan, janji kepada kawanku itu benar-benar membuat kepalaku pening. Ada sesuatu yang mengganjal di antara roda bergigi yang bekerja di dalam kepalaku, hingga sebuah mesin yang menghasilkan ide tak bisa bekerja dan menghasilkan apapun. Sial.
Setelah berkali-kali mencoba untuk terlelap, akhirnya aku menyerah. Pukul setengah empat pagi aku beranjak dari tempat tidur, mengambil selembar roti, menaruh beberapa potong acar ke dalamnya, kemudian menyalakan komputer dan berusaha untuk tenang.
“Baiklah, kawan. Jangan terlalu jahat kepadaku. Beri aku sedikit ide untuk membuat awalan kalimat yang bagus dan penutup akhir cerita yang memuaskan.” Kemudian aku berusaha mengingat peristiwa belakangan yang rasanya menarik untuk dituliskan. Astaga, tidak ada. Sungguh. Tak ada yang spesial dari beberapa hari terakhir.
Alternatifnya aku mencari tulisan lama yang masih belum jadi. Aku menemukan satu cerita yang bahkan aku sendiri lupa dengan jalan ceritanya, kira-kira begini isinya;
Dua pasangan sejoli yang buruk rupa, sedang menyaksikan pergantian
malam di pesisir pantai selatan. Hariitu adalah hari yang sangat penting bagi
mereka berdua, pasalnya si lelaki memberanikan diri untuk melamar si perempuan.
Hanya saja caranya sedikit aneh, ia membawa dua potong mawar. Di tangan
kanannya ada replika mawar yang indah sekali rupanya, sedang di tangan satunya
lagi ada mawar yang langsung ia petik dari pohon namun rupanya sudah agak layu.
“Silahkan pilih,” kata lelaki itu “jika kau memilih apa yang kupilih, Tuhan memang menuliskan kita sebagai pasangan sejati dalam skenarionya.”
Tanpa ragu perempuan itu mengambil mawar asli yang rupanya sudah layu. Setelah itu merekapun berciuman. Angin berhembus kencang dan ombak-ombak ikut merayakan kebahagiaan mereka dengan menyanyikan sebuah lagu tenang.
Ceritapun berhenti sampai di sini. Demi Tuhan, aku tak ingat apapun ketika menuliskan cerita yang aneh seperti ini. Sudah begitu, hanya cerita inilah yang belum ada judulnya. Aku sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya kuberi judul : “Cerita Mengharukan Abad 20xx”
Aku menyandarkan punggungku sejenak, menarik nafas dalam-dalam, membayangkan Scarlett Johansson bugil, dan meregangkan seluruh otot tubuh. Kalau dipikir-pikir apa yang kulakukan barusan itu tidak memperbaiki keadaan. Aku menoleh ke arah jam dinding, kini jarum pendeknya menunjukkan pukul lima. Isteriku sudah bangun untuk menyiapkan segalanya, dan aku sama sekali belum tahu apa yang akan kukirimkan kepada kawanku.
“Kau lebih baik istirahat,” kata isteriku sembari membawa keranjang baju kotor untuk dicuci.
“Kau memang jenius, aku butuh penguatan semacam itu daritadi.”
Ia melengos, aku tak ambil pusing dan segera merebahkan tubuh di atas kasur. Sebelum tidur tentu saja aku berdoa semoga ini tidak terjadi sampai satu minggu kedepan, minimal beberapa hari terdekat aku harus sudah mendapatkan sesuatu untuk ditulis. Hal ini benar-benar gila, aku tak pernah merasakan pening yang maha dasyat seperti ini. Isi kepalaku amat kering, sekering savana yang pernah kutonton di film-film koboi.
*
Satu minggu lewat dan aku tak menghasilkan apapun, bahkan tak ada satu idepun yang ada di benakku selain cerita dua pasang sejoli buruk rupa itu. Ini benar-benar sinting. Beberapa menit yang lalu kawanku menelpon, aku tak bisa mengelak dan harus mengirim ceritanya sekarang juga. Maka dengan ragu-ragu dan sedikit rasa tak tahu malu, aku mengirim “Kisah Mengharukan Abad 20xx” kepadanya. Perihal bagus atau tidaknya aku tidak mau tahu.
“Sayang,” aku menoleh kepada isteriku yang sedang memasak, “apa temanmu masih membuka pelatihan memijat?
“Memangnya kenapa?”
“Sepertinya profesi itu terdengar menjanjikan.”
Ia membalikkan pandangannya dan menatap mataku. Sepertinya ia tahu apa yang kupusingkan, lantas ia menghampiriku dan mengatakan segalanya akan baik-baik saja.
“Kurang tidur selama satu minggu, tidak menghasilkan barang satu tulisanpun dan mengirim cerita sampah ke media cetak. Ya, semuanya akan baik-baik saja. Aku percaya itu.”
Hariini aku tak mau melakukan apapun, entah membaca buku, menyiram tanaman apalagi mencoba untuk menulis kembali. Aku menghabiskan sepanjang hari di beranda rumah, dengan secangkir teh yang kuminum sedikit-sedikit sambil mencari cara bagaimana menjadi tukang pijat yang handal.
Malam harinya ketika hendak tidur tiba-tiba teleponku berdering. Aku melirik kepada isteriku, mencari penguatan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Lalu kukembalikan pandanganku kepada telepon itu. Dengan hati-hati aku mengangkatnya. Rupanya kawanku yang menelpon, ia mengucap salam dan aku menjawabnya.
“Ketika membaca tulisanmu yang ini aku sempat ragu bahwa itu kau yang buat,” ketika aku ingin menjawab kalau itu memang cerita yang kutemukan di selasar selokan, ia kembali melanjutkan kalimatnya “Ada sesuatu yang benar-benar beda, sebuah pembaharuan yang kupikir akan menjadi karya besar tahun ini.”
Aku diam sejenak, mencoba mengunyah apa yang baru saja ia katakan barusan.
“Cerita sesingkat ini bisa merangkum sebuah makna cinta yang hakiki. Simbol yang kau gunakan sangat indah dan pas, kau memang andalanku. Sudah kuduga kau adalah penulis Avant-garde. Sungguh ciamik! Kapan kau akan mengirim cerita-ceritamu yang seperti ini lagi?” Entah mengapa suaranya terdengar begitu semangat.”
“Belum tahu, aku ingin menghabiskan liburan pertengahan tahun ke Portugal bersama isteriku dulu.”
Lantas iapun berbasa-basi sejenak, tak lama setelah itu aku
mengakhiri telepon dengan alasan aku sudah mulai mengantuk. Setelah percakapan
itu aku melamun cukup lama, sebelum akhirnya isteriku membuyarkannya.
“Apa maksudmu menghabiskan liburan pertengahan tahun ke Portugal bersamaku?”
“Lupakan, itu hanya caraku berguyon dengannya. Kau sedang baca apa?” Aku mencoba membelotkan pembicaraan.
“Majalah kecantikan.”
“Oh.”
Aku menatap langit-langit. Kesadaranku sepertinya masih larut dalam kebahagiaan kawanku itu. Ini sungguh aneh, sejujurnya apa yang dibilang sebagai makna cinta yang hakiki itu tak pernah terlintas di benakku barang sedikitpun. Astaga. Malam ini aku tak bisa tidur. Selain karena masih terbayang profesi memijat yang terdengar menjanjikan, kejadian barusan memaksaku untuk meratapi apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sodong Raya, awal tahun 2017
"Ga baca ga uuuuu" said radit
ReplyDeleteck arkh
Delete