Pohon
dan Kehidupan setelah mati
Oleh
Sukindar Putera
Kira-kira
tak lama setelah subuh berkumandang dari corong masjid, aku terbangun. Bukan
karena alarm atau apa, tapi karena tetanggaku yang gemar menyalak seperti
anjing. Ia membangunkan anaknya seperti orang kesurupan, dengan jarak sekitar
duapuluh meter dari kamarku, aku masih dapat mendengar suara sabetan sapu lidi
yang kupikir diarahkan kepada anaknya. Bukannya apa-apa, masalahnya anaknya
yang dipukuli itu adalah sahabatku, Jul.
Ini
benar-benar gila, demi Tuhan, jeritannya membuatku sakit kepala. Kengerian ini
sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Sialnya, meski kami merasakan hal yang
sama, tak ada yang berani menegur tetanggaku itu. Sebab orang tua Jul adalah
anak dari orang yang pernah berpengaruh di lingkungan ini. Dan orang itu, atau
neneknya Jul, kerap dijuluki sebagai orang pintar oleh tetanggaku yang lain.
Kalau
sudah begini mau tak mau aku harus bangun. Dan biasanya pagi-pagi seperti ini, aku
menyiram tumbuhan di halaman rumah. Meski tak luas-luas amat, Ibu gemar menanam
apa saja. Apapun itu, tanpa memikirkan faktor iklim atau apalah, biji apapun
yang dikubur dengan tanah menurut ibu akan menjadi pohon. Maka dari itu banyak
sekali tumbuhan aneh yang bahkan aku sendiri tak dapat menerkanya. Ditengah-tengah
mereka tumbuh, pohon itu pasti mati. Itulah mengapa selama berada di sini tak
pernah ada satu pohonpun yang tumbuh rindang di halaman rumah.
Sekitar
pukul setengah tujuh, Jul menghampiri rumahku untuk mengajak berangkat sekolah
bersama. Seperti hari-hari biasanya, ia akan menekuk wajahnya sepanjang
perjalanan sambil sesekali mengeluh kepadaku.
"Kupikir
dia bukan ibu kandungku," Aku yakin ia tak bermaksud berkata seperti itu.
Kau tahu sendiri, manusia kerap mengucapkan hal-hal yang tak ia maksud pada
saat-saat tertentu. Jul, pada saat ini ia sedang berada di saat-saat tertentu
itu. "Aku benar-benar rindu nenekku," lanjutnya.
Ia
dan neneknya memang dekat betul. Sewaktu neneknya hidup, setiap hari banyak hal
yang diceritakan olehnya. Jul benar-benar menyukai mitos, dan neneknya adalah
guru yang tepat bagi dirinya untuk belajar. Masih kuingat beberapa cerita
darinya, salah satunya adalah mengenai kehidupan manusia setelah mati. Hal ini
berhubungan dengan mitos mengapa pohon besar tak boleh ditebang.
Kalau
tak salah ingat, ceritanya seperti ini; jaman dahulu, sewaktu neneknya Jul
seumuran kami, ia pernah menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Di mana desa
tempatnya tinggal, terjadi pembantaian besar-besaran. Entah apa nama
peristiwanya aku sedikit lupa. Seingatku hal tersebut terjadi karena mayoritas
penduduk di situ adalah seorang petani (aku sendiri lupa apa hubungan petani
dengan pembantaian). Ketika itulah banyak orang yang mati.
"Tuhan
sangat marah!" kata Jul saat itu sambil menirukan suara neneknya,
"untuk itulah ia mengubah yang mati menjadi pohon besar." Masih
dengan suara yang dibuat-buat "Tuhan ingin membuat yang mati itu menjadi
tak sia-sia."
Lantas
Jul menerangkan bahwa itulah mengapa pohon besar tak boleh ditebang, karena
sebetulnya mereka adalah orang-orang yang pernah berjasa. Lalu ia menguatkan
argumennya dengan memberi contoh bahwa setiap orang yang menebang pohon besar pasti
akan dihantui.
"Lantas
sampai saat ini apa Tuhan masih marah? Maksudku, apa sekarang setiap yang mati
juga akan menjadi pohon?" Tanyaku sambil meledeknya.
Ia
menggangguk dengan ragu, aku yakin betul ia ragu dengan jawabannya. Untuk
itulah kemudian tawaku tergelak, dan itupula yang membuatku selalu mengingat
kisah ini. Sebab menurutku cerita ini benar-benar dibuat-buat. Aku selalu
menganggap cerita yang berasal dari neneknya Jul seperti dongeng sebelum tidur,
berbanding terbalik bagaimana ketika Jul menganggap itu sebagai sesuatu hal
yang serius.
Tapi
tentu saja sekarang bukan waktu yang tepat untuk tertawa di depan Jul. Meski
begitu aku masih menghargai perasaannya, ia sedang kalut, maka pagi itu aku
menghiburnya dengan lawakan-lawakan murahan. Kamipun menjalani hari itu
sebagaiamana pada hari-hari biasanya.
***
Mungkin
kau pernah mendengar kalimat "Betapa waktu berjalan begitu cepat".
Kira-kira begitulah kalimat yang keluar dari bibirku pagi ini. Aku terbangun
bukan karena ibunya Jul yang menyalak seperti anjing, melainkan berasal dari
corong masjid yang mengumumkan kematian ibu dari sahabatku itu. Meski setiap hari
aku dibuat jengkel oleh jeritannya, tapi tetap saja perasaanku terpukul ketika
melihat Jul menangis di bahuku.
Hari-hari
Jul saat berangkat sekolah lebih kalut ketimbang saat ibunya kerap
membangunkannya dengan cara yang ekstrim. Setiap hari ia mengatakan kepadaku
bahwa ia benar-benar merindukan ibunya. Bahkan yang membuatku hanyut dalam
kesedihannya ketika ia mengatakan bahwa lebih baik dipukul dengan sapu lidi
setiap hari, dari pada harus merasakan sakit hati yang seperti ini.
Saat
pulang sekolah, aku menanyakan kemana ia akan pergi. Ia menggeleng. Aku
sebetulnya tidak mengerti arti gelengannya, entah tidak tahu atau tidak ingin
kemana-mana. Aku menatapnya, lalu aku memutuskan untuk mengajaknya pergi barang
sebentar ke suatu tempat. Ia diam saja. Maka kuanggap itu jawaban iya.
Aku
mengajaknya ke sebuah taman, lebih tepatnya taman kosong yang tak lagi dihuni.
Aku suka tempat ini. Terkadang jika aku berada dalam keadaan kalut, taman
inilah yang menjadi pelarianku. Untuk itulah aku mengajak Jul ke sini, kami
duduk di sebuah ayunan yang besinya sudah berkarat. Aku sengaja tak mengajaknya
berbincang, membiarkannya hanyut dalam isi kepalanya sendiri. Bagiku jika dalam
keadaan seperti ini, kita hanya butuh teman agar tak merasa sendirian saja.
Masalah berbincang atau tidak itu menjadi urusan belakangan.
“Kau
tahu, aku tak lagi percaya mitos tolol itu lagi,” Jul membuka pembicaraan. Aku
mengerutkan dahi, tak percaya kata itu lahir dari mulutnya. “Sudah satu minggu
lebih ibuku pergi, dan ia tak juga menjadi pohon di halaman rumahku.”
“Tuhan
sudah tidak marah,” Aku menyautinya, ada nada bercanda di situ. Ia menoleh,
memberikan tatapan yang mengerikan. “Maksudku, sebagaimana cerita nenekmu itu. Kau
masih ingat betul, iya kan?” Aku bermaksud mendapat pembelaan.
Ia
tak acuh. Setelahnya kami hanya mendengar suara daun yang bernyanyi akibat
angin, sambil sesekali membicarakan hal yang tak penting. Sore itu, kami
melihat matahari jatuh bersama. Meski terhalangi rumah dan tiang listrik, kami
tetap menganggap itu sebuah bentuk simpati langit kepada kawanku Jul yang
sedang bersedih.
Keesokan
paginya, tiba-tiba halamanku tumbuh pohon besar yang sangat rindang. Aku lupa
pohon itu tumbuh sejak kapan. Ketika kutanya ibu dia menanam apa, ia sendiri
juga lupa. Saat memerhatikannya lamat-lamat, pikiranku tiba-tiba hanyut ketika
aku menertawakan cerita Jul mengenai kehidupan setelah mati a la neneknya.
Ibu
membuyarkan lamunanku, "Sepertinya pohon ini terlalu besar, apa perlu kita
tebang?"
Aku
menatap wajah ibu, dengan sangat yakin aku menggelengkan kepala. Malamnya,
ketika selesai melakukan rutinitas, aku tertidur. Dalam tidurku aku bermimpi
tentang hal-hal yang aneh. Ada seorang nenek tua yang datang ke rumahku, ia
mendongengkanku sesuatu, aku lupa ceritanya tentang apa. Yang kuingat bagaimana
cara ia bercerita begitu mirip dengan Jul ketika sedang bercerita.
Kira-kira
tak lama setelah subuh berkumandang dari corong masjid, aku terbangun. Bukan
karena alarm atau apa, tapi karena tetanggaku yang gemar menyalak seperti anjing.
Eh
tapi, tunggu sebentar***
awal
2016- pertengahan 2017
Bang kapan update lagi....
ReplyDeleteAku suka karya-karya tulis dari abang,sangat bermanfaat sekali