Setelah sekitar tiga tahun
menghilang di Pantai Selatan, bahkan telah resmi dinyatakan meninggal oleh
pihak kepolisian, Riwayat Mahromun masih dengan pakaian yang sama tiba-tiba
mengetuk pintu rumahnya lagi dini hari tadi. Ibunya yang membuka pintu langsung
semaput, begitu juga dengan bapaknya yang menyusul kemudian.
Kabar ini dengan cepat menyebar ke seantero komplek
perumahanku di Cimahpar, Sukabumi. Pertama kali kudengar cerita ini dari Yasim
si penjual cuangki langganan ibu. Yasim yang memiliki kebiasaan menggebu-gebu
saat bercerita, menjadi seratus kali lipat lebih semangat ketika menceritakan
misteri kembalinya Riwayat Mahromun.
“Demi
Alloh,” matanya melotot, ia berusaha betul supaya aku percaya—yang sebetulnya tanpa
ia bersumpah seperti itu aku juga sudah bermurah hati untuk mempercayainya. “Makanya,
Kang, kita hidup di dunia itu nggak sendirian. Penting untuk jaga sikap dengan
sesama makhluk bumi, bahkan untuk makhluk kasat mata sekalipun. Jangan sompral!”
Ia menambahkan, sambil mengelap mangkok yang habis dicuci, atau tepatnya
dibanjurkan ke dalam ember dengan sekenanya.
Aku
memberinya uang lima ribu, dan senyuman untuk merespon ceramahnya yang itu-itu
saja. Yasim hampir sama seperti sebagian besar warga Cimahpar, sangat suka
mengaitkan hal-hal mistis dengan kiat-kiat
bagaimana-cara-hidup-tenang-di-bumi-dengan-menjaga-keharmonisan-bersama-makhluk-kasat-mata
yang sebetulnya cukup membuatku muak.
Selesai
makan aku langsung menyiapkan berkas untuk mengurus surat kehilangan ijazah
SMA-ku di Polsek, untuk memenuhi syarat kelulusan kuliahku di Jakarta. Setelah
semua disimpan dalam satu map, aku langsung berangkat. Tapi karena kupikir
masih terlalu pagi, aku membelokkan setir menuju warkop langgananku di depan
jalan utama Sukaraja menuju Cianjur.
Meski
tempat ini ramai dengan suara lalu lalang kendaraan, tapi entah mengapa di sini
selalu sepi pengunjung. Menurut beberapa orang yang bisa ‘melihat’, bahkan
termasuk pengakuan si penjaga warkop, sepinya tempat ini akibat kalah ajian
dari warung sebelah. Aku sendiri sebetulnya tak terlalu peduli, apapun
alasannya yang jelas tempat ini cukup nyaman untuk ditongkrongi.
“Tumben
sepi, a,” Aku tahu pertanyaan ini hanya akan menyakiti perasaan si penjaga
warkop, tapi percayalah aku sedang malas cari kalimat basa-basi lain untuk
membuka obrolan.
“Masih
pagi, Kang. Nanti sorean juga rame,” tentu saja aku tahu dia berbohong, tapi
kumaklumi. “Ehiya, sudah tau kabar si, apa namanya, ehm, itu kepulangan si
Romun tadi malam? Wah, kakinya melayang nggak tuh, ya?” Ia terkekeh, persisnya
seperti kukang kawin.
Aku
mengiyakan. Lalu kuceritakan apa yang kudengar dari Yasim. Si penjaga warkop
khidmat mendengarkan. Setelah bagianku selesai, ia mengambil bagiannya yang
ternyata lebih lengkap dan seru. Karena si penjaga warkop punya masalah dengan
cara menyusun kalimat bahasa Indonesia, yang jika kutuliskan mentah-mentah di
sini mungkin akan membuat matamu sakit atau fobia terhadap tulisan, maka biar
kuceritakan ulang saja;
Kurang lebih pukul dua pagi, setelah peristiwa semaputnya
orangtua Riwayat Mahromun, Pak RT datang dan berusaha memediasi keadaan (begitu
menurut pengakuanya kepada si penjaga warkop setelah ia selesai dengan
urusannya). Peristiwa tadi pagi sebetulnya masih sulit betul untuk dicerna oleh
akal sehat. Namun Pak RT sebisa mungkin harus tetap bijaksana, atau lebih
tepatnya menahan diri untuk tidak histeris.
Riwayat
Mahromun tak banyak bicara saat ditemui oleh Pak RT, bahkan sebetulnya tak
bicara sama sekali. Alih-alih demikian, yang menjawab pertanyaannya justru
kedua orangtuanya. Menurut mereka, Romun baru saja pulang setelah diculik oleh
Ratu Nyi
Roro
Kidul karena mengenakan baju hijau yang bertuliskan young, wild and free dan terdapat logo daun ganja di bawahnya
(Entahlah, aku juga tak mengerti mengapa Pak RT perlu menambahkan detail ini
pada ceritanya ke si penjaga warkop).
Tiba-tiba
ia diseret ombak besar, dan menurut pengakuan orangtuanya, ia dibawa ke dalam
sebuah kerajaan besar yang penuh dengan pengawal bertubuh kekar. Di sana ia
dihukum selama sepuluh tahun, dan selama masa hukumannya ia dititahkan untuk
menjadi sendok. Saat kutanya apa maksudnya, si penjaga warkop mengangkat bahu
dan mengulang kalimatnya; ya pokoknya menjadi sendok!
Sepuluh
tahun menjalani tugasnya sebagai sendok, akhirnya Riwayat Mahromun dipulangkan
dengan kereta kencana Nyi Roro Kidul. Ia dibiarkan terdampar di Pantai
Pelabuhan Ratu, lalu pulang dengan berjalan kaki yang tentu saja jaraknya
sangat jauh dari komplek perumahanku. Ohiya, dan menurut si penjaga warkop,
hitungan waktu di di dunia jin berbeda dengan hitungan waktu kita.
Hanya itu yang diceritakan Riwayat Mahromun kepada
orangtuanya, atau mungkin hanya itu yang diceritakan orangtuanya Riwayat
Mahromun kepada Pak RT, atau mungkin hanya itu cerita yang dapat diingat si
penjaga warkop dari ceritanya Pak RT. Kira-kira begitulah, semua tidak begitu
jelas.
“Loh memangnya Akang nggak ke rumah
si Romun?”
Aku
menggeleng. Bukan karena tidak mau, tapi belum enak saja. Bertamu ke rumah
seseorang yang baru terkena ‘musibah’ atau apapun semacamnya, hanya untuk
memenuhi rasa penasaranmu tentu saja pamali. Maka kuurungkan niat besukku, dan
memutuskan ke rumahnya jika keadaan sudah membaik. Aku sendiri sebetulnya tidak
terlalu dekat dengan Riwayat Mahromun, tapi bagaimana pun kami bertetangga.
“Beruntunglah si Romun itu, Pak RT
masih peduli sama budak bocah bangor gitu.”
Kali
ini aku tak merespon, aku tahu betul apa yang dimaksud si penjaga warkop.
Riwayat Mahromun memang terkenal badung. Seperti yang terakhir kali kuingat
tentangnya,
sebelum ia menjadi sendok, ia hampir dibogem oleh satu komplek lantaran berniat
mencuri uang masjid karena kalah judi. Dan masih banyak lagi yang tak alim jika
kuceritakan semua di sini.
Setelah
menghabiskan gelas kopiku, aku pamit dan berangkat ke Polsek. Matahari mulai
terik saat aku berangkat. Sesampainya di sana, aku bertemu dengan Pak Hidayat.
Ia polisi sekaligus tetanggaku yang baik. Kami berbincang sebentar sebelum
akhirnya ia mengurusi kebutuhanku.
Seminggu setelahnya, cerita mengenai Riwayat Mahromun kian
melangit. Bahkan sampai viral di berbagai media sosial—aku tahu kabar ini dari
kawanku yang di Jakarta. Riwayat Mahromun masih tak beranjak dari rumahnya, ia
juga belum angkat bicara mengenai desas-desus tentangnya. Versi ceritanyapun
makin hari kian beragam, salah satu yang menarik lahir dari mulut isteri Pak
Hidayat saat aku mampir ke kios jus miliknya yang terletak di samping masjid
komplek.
“Kemarin
ada segerombolan orang nanya rumahnya Romun,” Katanya tanpa tedeng aling-aling,
aku menyimak. “Mukannya serem-serem banget, pas ibu tanya tujuannya, mereka
nggak jawab. Tapi ya ibu kasih tau aja sih.”
Belum
sempat kurespon ia kembali melanjutkan ceritanya, “Kalau ibu sih curiganya mereka komplotan yang
pernah bermasalah sama Romun. Tapi gatau juga sih,” ia berbisik seolah ini bagian yang sangat penting dan orang
lain tak boleh tau, meski sebetulnya tak ada siapapun di sini “ini mah mungkin
ya, mereka itu komplotan yang pernah diutangi sama Romun gara-gara judi.”
Dahiku
mengernyit, kucoba cerna omongan Isteri Pak Hidayat yang kalau bicara mungkin
bisa mengucap satu juta sih dalam
setiap kalimatnya. “Jadi maksudnya cerita ia dihukum menjadi sendok di kerajaan
Nyi Roro Kidul itu hanya akal-akalan saja?”
“Maksudnya?”
“Maksudku, ia memanipulasi
kehilangannya di Pantai Selatan?”
“Semacam itu.”
Besok paginya aku terbangun, bukan karena alarm atau apa,
tapi karena jeritan berisi sumpah serapah ibunya Riwayat Mahromun di depan
rumah Pak Hidayat. Ia mengacung-acungkan sebilah pisau dan mengancam akan
menggorok leher Isteri Pak Hidayat. Tetanggaku keluar semua, sebagian berusaha
melerai dan sebagian besarnya hanya penasaran saja. Sepuluh menit kemudian Pak
RT datang dan menenangkan keadaan. Warga yang berkumpul segera dibubarkan.
Menurut
ibuku yang katanya menurut tetanggaku lagi dan begitu seterusnya, Ibu Riwayat
Mahromun tidak terima atas desas-desus mengenai anaknya.
“Mulut
isterinya Pak Hidayat memang begitu,” katanya sambil berbisik, persis seperti
apa yang Isterinya Pak Hidayat pernah lakukan kepadaku “Paling jago kalau
gosipin kejelekan orang. ”
“Maksud ibu semua ini tentang alibi
menghilangnya Romun itu kan?”
“Itu
mah wallohualam, Nak. Kita nggak usah ikut campur, turut seneng aja Romun bisa
balik lagi ke rumahnya,” tukasnya sembari membantuku mengemas barang-barang
yang akan kubawa besok ke Jakarta.
Sorenya
aku mendapat kabar bahwa keluarga Riwayat Mahromun angkat kaki dari rumah.
Menurut Yasim yang mulutnya tak kalah ember dari Isteri Pak Hidayat, mereka
akan menetap di Sumedang, di rumah neneknya Riwayat Mahromun.
***
Saat aku berdiri di bibir Pantai Selatan sambil mengenakan
baju berwarna hijau, matahari sudah seperempat tenggelam. Tak ada orang lain
lagi di sana. Tiga puluh menit tak terjadi apa-apa akhirnya aku membalikkan
badan untuk pulang. Tak kusangka tiba-tiba seperti ada seseorang yang
menendangku, aku terpental dan ombak besar segera menggulungku sampai ke dasar
laut. Aku tak sadarkan diri sampai
akhirnya
tiba di sebuah bangunan mewah nan megah yang dipenuhi orang bertubuh kekar.
Aku
panik bukan main, dan tentu saja menyesal atas ketololanku. Aku melihat seorang
perempuan cantik dengan pakaian serba hijau yang anggun, pelan-pelan ia
menghampiriku. Kuduga dia adalah sosok itu; Nyi Roro Kidul. Aku memohon ampun
kepadanya. Ia terlihat murka dan segera mengubahku menjadi keset. Dengan suara
yang lembut ia mengatakan bahwa aku akan dibebaskan setelah dua puluh tahun
menjabat sebagai keset kerajaan, akibat perbuatanku yang menantangnya.
Aku
tak bisa berkutik. Aku memohon ampun dan berjanji tidak akan meragukannya lagi.
Nyi Roro Kidul mengabaikanku, ia membalikkan badannya dan pergi meninggalkanku.
Kemudian orang-orang bertubuh besar itu menertawaiku. Mereka menginjak-injakku.
Sakit sekali, nafasku terengah-engah. Salah seorang yang bertubuh paling besar
menjorokkan kepalanya sedikit ke bawah dan bicara padaku.
“Kang rujaknya, Kang!”
Sialan!
Saat
terbangun bajuku sudah basah semua, kepalaku pusing sekali. Pedagang yang hilir
mudik membuat bus terlihat sempit dan semakin runyam. Aku mengangkat tangan,
tanda menolak tawaran si tukang rujak. Teleponku bergetar, itu pesan singkat
dari kawanku di Jakarta. Kutunggu kau di Jakarta, simpan tenagamu untuk
menceritakan Riwayat Mahromun yang viral itu! Katanya.
Sekitar
tiga jam perjalanan, bus kol tiba di Ciwai. Aku kembali melanjutkan
perjalananku dengan menaiki bus arah Cililitan. Setibanya di sana, kawanku
sudah menunggu dengan sepeda motornya. Kami tiba di dekat indekosku menjelang
maghrib, dan memutuskan untuk nongkrong di warung nasi di daerah Sunan Giri.
“Jadi
bagaimana?” Tanyanya setelah membakar rokok yang ia keluarkan dari dompetnya.
Ia sudah tidak sabar.
Aku
mengambil potongan tempe dari piringku, dan segera kulemparkan ke wajahnya. Ia
tertawa, lalu dengan sabar ia menungguku menyelesaikan makan. Kawanku ini
memang senang mendengar cerita-cerita misteri, apalagi setelah ia mengenalku
sebagai orang Sukabumi. Menurutnya, di tempat kelahiranku itu banyak sekali
hal-hal mistis yang seru untuk diceritakan.
Maka
setelah selesai makan, kuceritakan tentang misteri pulangnya Riwayat Mahromun
itu. Tapi tak semua, hanya versi Yasim dan si penjaga warkop saja. Ia khidmat
menyimak dan jarang sekali berkedip, ia benar-benar tak ingin kelewatan
sedikitpun. Seperti biasanya, saat aku selesai dengan kalimatku, ia
mengeluarkan kalimat pusaka miliknya; wah gila sih! Kok bisa ya?
Tawaku
tergelak. Aku meneguk habis gelas teh manisku. Rasanya ingin sekali kujawab
pertanyaannya itu dengan kalimat; bisa lah tolol, orang itu cuma alibi!
Tapi
tentu tidak kulakukan. Aku tak ingin merusak suasana sebab ia benar-benar
menikmati cerita Riwayat Mahromun sebagai cerita misteri. Melihat wajahnya yang
seperti itu, aku semakin semangat untuk mempermainkannya dengan menceritakan
mimpi anehku saat dalam perjalanan tadi.
Menjelang tengah malam, saat aku sudah tiba di indekos dan
kawanku sudah pulang, aku baru baca pesan singkat dari ibuku. Saat membacanya
tubuhku bergidik, tanganku tiba-tiba basah. Beberapa kali aku menelan ludah
yang rasanya seperti segumpal serabut jagung. Begini pesan yang kuterima :
“Nak,
tadi menjelang maghrib ada seorang perempuan cantik dengan pakaian serba hijau
yang anggun sekali, ia menghampiri ibu dan bertanya mengenaimu dan Riwayat
Mahromun. Itu temanmu? Soalnya ibu tak pernah lihat dia sebelumnya…”
Sodong Utara, Awal September 2018
Comments
Post a Comment