Skip to main content

KAU DAN BATU TUJUH

KAU DAN BATU TUJUH
Oleh Sukindar Putera

AKU MASIH INGAT. Saat gambreng, kau satu-satunya yang menelungkupkan tanganmu. Itu berarti kau yang jaga ; menyusun ketujuh batu itu secara bertingkat. Muklis yang bertugas untuk menghancurkan susunan batu, dari garis yang sudah kita sepakati jaraknya. Pada hitungan ketiga, sandal yang ia lempar tepat menghancurkan susunan batu itu hingga kau kewalahan untuk mengumpulkan batu yang berpencaran. Dengan leluasa aku, Niko, dan Muklis dapat mencari tempat persembunyian, di sela kau harus menyusun batu itu seperti semula.

            Aku bersembunyi di belakang kandang ayam milik Pak Edni. Aku masih ingat betul bau tengik taik kotok yang menyengat hidungku saat itu, dan aku sempat tak bisa menahan bersin karena gatalnya bulu ayam yang berterbangan. Dari tempatku bersembunyi, aku dapat melihat Muklis yang sedang memanjat pohon kersen. Sebetulnya, pohon itu tak jauh dari tempatmu menyusun batu. Karena kau sedang sibuk menyusun batu saja, maka kau tak menyadari sekarang Muklis sedang cekikikan di atas kepalamu. Tapi, aku tak melihat Niko. Aku tak tahu dimana ia bersembunyi. Paling-paling di empang, tebakku saat itu.

            Kau menepuk kedua tanganmu. Bagiku itu tanda kau telah selesai menyusun ketujuh batu, dan siap untuk mencari kami. Maka aku memantapkan posisi, sebisa mungkin jangan sampai kau dapat melihatku atau bahkan mencium keberadaanku. Muklis sudah tidak cekikikan lagi, dan aku masih tidak tahu dimana Niko bersembunyi. Kau berputar-putar, mencari tempat yang berpotensi untuk dijadikan tempat persembunyian. Entah kenapa tiba-tiba rongga hidungku terasa begitu gatal, seperti ada sesuatu yang mengelitikinya. Dengan refleks aku bersin begitu kencang hingga ayam yang berada di dalam kandang ribut, dan membuat Muklis terkejut hingga jatuh dari atas pohon kersen.

            Tawamu tergelak sejadi-jadinya. Kau menemukanku sekaligus Muklis dengan cara yang begitu mudah dan aneh. Hingga akhirnya kita sama-sama tertawa. “Kalau saja dia tidak bersin, mungkin sampai besok kau tidak akan menemukanku” kata Muklis yang membuat kau semakin tertawa hingga tak terdengar suaranya. Setelah teringat Niko yang belum ditemukan, kau kembali mencari. Sedangkan aku, dan Muklis menunggu sambil bersandar di pohon kersen. Berharap Niko datang secara tiba-tiba, dan menghancurkan tujuh batu itu hingga kau harus menyusunnya lagi. Itu berarti aku dan Muklis dapat bersembunyi lagi.

            Tapi hingga adzan maghrib berkumandang, Niko tak dapat kau temukan. Meski akhirnya aku dan Muklis juga ikut mencari, tapi hasilnya tetap sama. Dugaanku kepada Niko yang bersembunyi di empang, ternyata salah. Hari sudah mulai gelap, beberapa kali Pak Endi menyuruh kami untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Tapi tanpa Niko, tentu saja kami tak akan pulang.

            “Jangan-jangan diculik pocong?” Kata kau yang tiba-tiba memecah keheningan.

            “Atau siapa tau dia kesasar karena ditutup matanya sama hantu” Muklis menambahkan.

            Saat itu aku hanya diam. Menurutku bukan saat yang tepat untuk membicarakan hantu. Lagipula, kau ada-ada saja. Setahuku bukan pocong yang suka menculik, tapi wewegombel. Akhirnya kita memutuskan untuk berhenti mencari, sebab hari benar-benar sudah gelap. Lampu masih jarang yang menyinari jalanan. Kita sepakat untuk pulang ke rumah masing-masing, tapi dengan satu syarat ; tidak boleh membicarakan apapun tentang Niko.

            Setelah pulang kerumah masing-masing, kita bertemu lagi di masjid Al-Mukminin untuk mengaji. Kau ingat ketika kita ditanya Ustadz kemana Niko pergi? Kita benar-benar mati kutu. Jujur saja, ketika itu aku keringat dingin. Tak tahu harus berbicara apa. Kau, dan Muklis pun terlihat begitu pucat. Kita semua menggeleng tak bisa menjawab, untung saja Ustadz tidak menghiraukan kegugupan yang terlihat di wajah kita.

            “Kita harus bagaimana?” Kata kau setelah kita selesai mengaji.

            Aku benar-benar tidak tahu. Kalau benar dia diculik wewegombel atau entah apa itu, mestinya kita memberi tahu Ustadz. Tapi jika itu terjadi, yang jelas kita pasti kena batunya. Aku tak akan boleh bermain lagi di sore hari. Maka aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan kau.

            “Beri tahu Ustadz saja. Bagaimana?” Muklis member usul.

            Sempat lengang, kemudian kau menolaknya. Kupikir kau dan aku memiliki satu pemikiran. Bagaimana tidak. Aku mengenal baik watak orangtuamu, begitu juga sebaliknya bukan? Orangtua kita sama-sama keras, buat main sore hari saja butuh perjuangan yang keras. Mengemis, bahkan harus menangis dulu sampai akhirnya diberi izin juga.

            Saat itu aku teringat buah-buahan yang ada di bawah pohon bambu dekat rumah Pak Endi, kalau katamu itu sajen. Maka jika Niko memang diculik hantu, mungkin sajen bisa menjadi cara untuk mengembalikannya. Maka aku mengusulkannya kepada kau. Kau, dan Muklis pun setuju. Kita langsung bergegas menuju ke sana, membawa sisa buah jeruk yang didapatkan saat mengaji.

            “Ini, silahkan diambil. Tolong kembalikan teman kami yang bernama Niko ya, Tuan, Wewegombel” Kata kau sambil perlahan-lahan menaruh tiga buah jeruk di bawah pohon kersen.

            “Wewegombel itu perempuan bodoh,” Muklis memukul kepalamu dengan kopiahnya.

            Perbincangan kau dan Muklis sebetulnya benar-benar membuatku ingin tertawa. Tapi saat dipikir-pikir kembali, itu bukan saat yang tepat. Jujur. Aku takut sekali saat itu. Kau tahu sendiri, suasana kampung saat malam hari benar-benar sepi. Setelah dirasa cukup, kita lari sekencang-kencangnya kerumah masing-masing. Dengan harapan keesokan harinya Niko kembali, dan dapat bermain kembali bersama kita.

            Aku yakin kau pasti ingat bagian ini. Keesokan paginya, Mama Niko kerumahku. Aku dapat mengenali suaranya yang cempreng dari dalam kamar. Aku tidak berani keluar. Takut kalau-kalau ia memarahiku, atau bisa jadi memukulku. Tapi setelah ia pulang, aku bertanya kepada ibuku. Kau tahu kan? Ternyata Niko itu sedari sore, ketika kita sedang bermain batu tujuh kemarin. Ia diam-diam pulang ke rumah karena mencret, alias berak di celana ! Kau tertawa geli ketika aku menceritakan ini. Sial. Ternyata Niko diare setelah memakan buah yang ada di bawah pohon bambu, dekat rumah Pak Endi itu.

            Sampai sekarang aku tak pernah habis pikir. Cetek sekali pikiran anak kecil seperti kita waktu itu. Entah kenapa kita sepakat, kalau Niko benar-benar diculik wewegombel. Setiap kali aku mengingat itu, aku pasti tertawa sendiri. Tak perduli di mana pun aku berada. Hah. Aku rindu masa-masa itu. Bermain setiap sore bersamamu, Muklis, dan Niko.

            Ohya, sebelumnya kau harus tahu. Setelah kau meninggalkan Bojong Gede, sudah banyak sekali perubahan. Pak Endi sekarang sudah tidak tinggal di sini lagi, yang kudengar ia tak kuat karena terus diganggu oleh hantu. Sekarang tanahnya dibeli oleh perusahaan jasa pengiriman barang, jadi tak ada lapak lagi untuk anak-anak bermain. Tanah merah yang biasa kita tapaki, sudah berubah menjadi aspal. Lagipula, anak-anak kecil sekarang pun tidak seperti kita dulu. Aku jarang melihat anak seusia kita dulu sedang bermain karet, petak umpet, tak jongkok, ataupun batu tujuh. Dan yang terakhir, Ustadz yang menjadi guru ngaji kita sudah meninggal karena mengidap penyakit demam berdarah.

            Aku sangat merindukanmu, kawan. Kini kau pasti sedang sibuk di Jakarta. Entah bekerja, atau melanjutkan pendidikanmu sampai perguruan tinggi. Yang jelas kepergianmu ini, lebih misterius daripada menghilangnya Niko waktu itu. Bahkan sempat terpikirkan olehku, kalau kaulah sebetulnya yang sedang diculik wewegombel. Apa pula aku harus memberi sesajen agar kau kembali ke sini? Atau paling tidak beri aku kabar melalui pesan singkat, ataupun email. Jangan salah, sekarang di kampung kita ini juga sudah ada warnet. Ya, tak kalah modern dengan Jakarta.

            Kurasa cerita ini sudah cukup. Aku, Niko, dan Muklis selalu menunggu kedatanganmu di sini. Kalau ke sini, langsung saja datangi ke salah satu rumah kami. Rumah kami masih sama seperti dulu, hanya cat tembok, dan beberapa renovasi interiornya saja yang berubah. Jika kau benar-benar kembali, aku sudah menyiapkan tujuh buah batu, dan obat diare untuk kita bermain nanti.






              Sodong Raya, 17 Januari 2016

Comments

Popular posts from this blog

Lucid Dream

LUCID DREAM : KESADARAN DALAM MIMPI    Apa sih yang lo tau tentang mimpi? mungkin jawaban dari beberapa orang kalo mimpi ini sesuatu fenomena yang lo dapet ketika tidur. Ya bener, lo gasalah. atau bahkan ada yang bilang itu indra ke 6. Ya bener, lo beneran giting. Tapi gua disini gamau permasalahin itu, gue disini mau sharing tentang LUCID DREAM .   Mungkin sebagian dari lo banyak yang gak tau tentang ini. Bagi lo yang gak tau, lo termasuk orang yang menyesal men. sebab tuhan menciptakan otak manusia itu luar biasa, sayang kalo lo gak gunain sebaik-baiknya. Hidup cuman sekali, hargailah setiap detik lo hidup untuk mempelajar/mengetahui hal yang baru. Pernah gak sih lo ngerasain mimpi yang begitu jelas? kaya mimpi dikejar setan, atau bahkan mimpi basah  ketemu orang yang bener-bener lo sayang. Sampe-sampe lo bilang "anjir kok nyata banget", "anjir gue bisa ngendaliin mimpi", "anjir padahal bentar lagi keluar"eh .  Ya pokoknya gitu deh, itu semua be

CARA MENIKMATI LUKISAN ABSTRAK A LA PAMAN

CARA MENIKMATI LUKISAN ABSTRAK A LA PAMAN Oleh Sukindar Putera Entah seleraku yang payah atau bagaimana, sampai saat ini aku tak bisa menikmati lukisan abstrak sebagaimana yang paman lakukan. Sebetulnya aku sudah malas betul ke pameran semacam ini, tapi paman selalu memaksaku untuk menemaninya. Jadi apa boleh buat. Sesampainya kami di sini, seorang pria berpakaian flamboyan sedang memberikan sambutan yang membuatku ingin muntah. Kurasa apa yang disampaikannya sangat berlebihan, terlebih ketika ia mengatakan bahwa lukisan abstrak merupakan picisan jiwa sang pelukis. Astaga. Tapi rasa mual itu tak kutunjukkan, sebab tak enak jika paman melihat. Ia terlihat sangat begitu antusias. Lantas setelah sambutan yang menjijikan itu kami berkeliling untuk melihat-lihat. Paman tampak serius saat menatap setiap lukisan yang kami lalui. “Aku suka yang ini,” tiba-tiba paman berhenti di salah satu lukisan. “Lukisan ini berbeda dengan yang lainnya, seperti memiliki kekuatan yang

Setan di Indonesia mengapa berbeda dengan setan di luar negeri?

SETAN INDONESIA?   Jujur gue dulu penakut, bahkan penakut yang tingkat dewa. Dulu kalau gue mau boker gue selalu minta temenin mbak atau emak, kalau gaada yang nemenin yaudah terpaksa gue boker sendiri dengan kondisi pintu yang sedikit terbuka dan aroma tai yang menjalar keluar, mengerikan ya. Trus tanpa alasan yang jelas gue selalu manggil-manggil nama orang yang ada dirumah supaya mastiin kalo gue gak sendiri, ironis ya. Tapi sekarang udah engga kaya gitu alhamdulillah, dan gak masalah buat lo yang masih kaya gitu, menurut gue itu proses pendewasaan HA-HA. Udah gitu  kalau denger anggota keluarga atau teman yang lagi cerita-cerita horror pasti aja gue nimbrung dan tertarik buat dengerinnya, udah tau penakut tapi masih sok iye lah. Tapi dari pengalaman dan lingkungan gue sendiri, gue bisa mempelajari satu hal, itulah sebabnya gue ngambil topik setan. Pernah gak sih lo mikir kenapa Kolong Wewe gaada di Jepang? apa mungkin doi takut buat diajak bikin pilem bareng Sora Aoi?