Entahlah, hariini terasa seperti hari dimana ajalku sudah di ujung tanduk. Maksudku, aku merasa menjadi kambing congek di tengah sibuknya orang-orang Jakarta. Penyiksaan lahir-batin duniawi yang sakit sekali rasanya. Sepertinya malaikat dan penghuni akhirat pun sedang kebingungan melihat puncak kejenuhanku yang munjulang tinggi sampai ke langit ke tujuh, bajingan! Terdengar berlebihan, tapi begitulah kenyataannya. Maka setelah rokok terakhirku habis, aku langsung meluncur menuju warung kopi di daerah Cipinang Jaya.
Bagaimanapun libur panjang ini tidak
seperti apa yang tergambarkan anak-anak SMA pada umumnya, kupikir mereka
berpikir seperti itu karena memang sistem pembelajaran sekolah yang sinting.
Masuk pagi, pulang sore. Menuntut untuk belajar ini itu tanpa menjunjung nurani
murid-muridnya, sehingga terlihat seolah pemikiran mereka sedang digeneralisasikan,
membuat jiwa mereka miskin, oleh karena itu secara tidak langsung mengajarkan
mereka untuk membenci pendidikan. Tak jarang juga ada guru yang sinting, misalnya
masuk kelas lalu pergi meninggalkan sejuta tugas untuk murid-murid. Benar-benar
membosankan. Untungnya aku telah melewati itu semua, dan sialnya aku telah
merasakan libur panjang yang bajingan ini.
Percayalah, libur panjang itu tidak
menyenangkan. Kecuali jika kau ditakdirkan sebagai borjuis elit yang
orangtuanya adalah konglomerat, sehingga kau bisa minum kopi di Prancis, mandi
di Inggris, dan buang air besar di Belanda. Hampir diujung liburan ini, hanya
itu-itu saja yang kulakukan. Pada malam hari aku begadang sampai pagi, paginya
baru tidur sampai sore, sorenya baru melakukan rutinitas yang itu-itu lagi.
Bagaimanapun jika kau merasakan itu, otakmu akan terasa seperti mulai tumbuh
jamur dan mulai sedikit berlumut di dinding tengkorak kepala. Apa ini salah
satu faktor, jika orang ingin bunuh diri? Entahlah.
Sesampainya di sana, aku langsung memesan
salah satu anugerah terbesar dari Tuhan yang diturunkan ke Bumi yang busuk ini
: Kopi hitam. Teman-temanku berada di luar, tepatnya di pinggir tak jauh dari
warung kopi yang bernamakan warung sedap malam (atau biasa kami menyebutnya
selam, singkatan dari kata SEdap, dan maLAM). Tapi saat ini aku sedang tidak
ingin berbincang, maka aku mengeluarkan buku The Catcher in the RYE dari tas, yang baru kupinjam dari teman
kampusku kemarin.
Kebetulan tempat ini berada tepat di
pinggir jalan, dalam artian lain tak jauh dari jeritan klakson kendaraan
bermotor yang bajingan itu. Di tambah sekarang sedang jam-jamnya orang pulang
kerja. Demi Tuhan, aku mengutuki orang yang membunyikan klakson secara
serampangan, atau bahkan si entah siapa pencipta klakson itu! Sebab sampai saat
ini aku tak pernah mengerti fungsi dari alat bajingan itu. Mempercepat laju
kendaraan pun tidak, membuat kendaraan secara tiba-tiba ilang pun tidak, yang
ada membuat orang naik pitam saja. Dan itulah kesimpulanku terhadap alat
bajingan itu, berguna jika ingin mencari masalah atau musuh saja.
Kopi hitam datang, aku mulai membuka
lembar pertama. Buku ini mulai bercerita tentang anak muda yang dikeluarkan
dari sekolahnya, tapi uniknya ia tidak merasakan penyesalan sama sekali.
Deskripsi dan pemikiran tokoh yang dituliskan Salinger ini cukup membuatku
tersenyum-senyum sendiri, sampai sejauh ini aku menikmatinya. Tiba-tiba datang
dua orang bapak-bapak yang duduk tepat di sampingku. Astaga, percayalah, tempat
ini sedang kosong dan mereka memilih untuk duduk di sebelahku? Aku sedikit
menoleh kepadanya, berbarengan dengan ponselku yang berdering. Ternyata pesan
dari pacarku, ia meminta untuk dibelikan makanan. Maka aku mengiyakan.
Aku menghela nafas. Kemudian sedikit
merenggangkan kepalaku sebelum akhirnya kembali menaruh pandangan pada buku ini
lagi. Setelah beberapa lembar terlewati, kedua orang di sampingku ini cukup berhasil
memecah kefokusanku dengan topik pembicaraannya. Mau tak mau, obrolan mereka terdengar
juga. Mereka berbincang masalah pekerjaannya, tebakku mereka adalah pegawai
kelas menengah. Yang mereka obrolkan tak jauh-jauh dari seputar bosnya,
masalah gaji, seputar gosip PHK, naik pangkat, atau apalah itu. Seterusnya
berulang-ulang seperti itu, sampai-sampai aku tak tahu kata apa yang sedang
kubaca ini. Bajingan!
Kalau dipikir-pikir aneh sekali. Toh
bukannya kebanyakan orang ingin bekerja di kantoran, karena gaji yang
ditawarkan itu lumayan? Tapi dengan mendengar percakapan mereka ini aku jadi
sedikit geli. Kalau saja percakapan mereka ini di siarkan di radio mungkin
semua orang akan berpikir dua kali untuk menjadi pekerja kantoran. Sumpah mati,
dari kecil aku tidak punya keinginan untuk menjadi manager ataupun strata
tertinggi dari sebuah perusahaan. Sebab kupikir, pasti akan merasakan hal-hal
yang dikeluhkan dari kedua orang ini. Penuh dengan penyakit hati, entah dendam,
dengki, egois, atau apapun itu. Karena itu semua, tidak menutup kemungkinan
membuat dosa terberat duniawi, yakni korupsi.
Karena cukup muak mendengar percakapan
mereka, aku pindah ke meja yang lain. Ketika ingin melanjutkan membaca,
tiba-tiba temanku datang.
“Eh, kau dari mana?” Kupikir itu hanya
pertanyaan basa-basi klise, merupakan tahap awal ritual tegur-sapa. Cara yang
basi namun sangat ampuh, tapi bagaimanapun aku juga sering melakukan hal itu.
Sekedar untuk menghindari kecanggungan saja, atau tahap untuk memulai perbincangan.
“Dari kampus,” Kataku membalas
senyum ramahnya. Setelahnya ia duduk di hadapanku. Tak ada yang keluar dari
mulutnya lagi, sebab ia sibuk melihat layar ponselnya. Dengan itu aku melanjutkan
untuk membaca novel.
“Tau, gak,” Katanya secara
tiba-tiba. Aku menoleh, ia melanjutkan kalimatnya.
“Peraturan di sekolah makin gila saja!” Katanya dengan gurat emosi yang terlihat di wajahnya. Kebetulan ia masih SMA di sekolahku dulu.
“Peraturan di sekolah makin gila saja!” Katanya dengan gurat emosi yang terlihat di wajahnya. Kebetulan ia masih SMA di sekolahku dulu.
“Bagaimana maksud mu?”
“Entahlah, susah untuk dijelaskan.
Intinya aku semakin merasa jenuh saja setiap harinya. Tugas, pelajaran, dan
guru-gurunya semakin sinting saja!” Ia berkeluh dengan sekali nafas.
Aku mengangguk, kemudian merespon
ucapannya, “Ikuti saja sistem sialan itu. Memang jenuh. Tapi ketika kau keluar,
kau boleh meludahi pagar sekolahmu itu dengan hati yang tenang,”
Ia tertawa, tentu kalimat terakhir
itu ia anggap sebagai guyon saja. Ia kembali melihat layar ponselnya. Sedangkan
aku meloloskan sebatang rokok. “Saat lulus nanti, kau mau ke mana?” Aku tahu
kalau ia sekarang telah menduduki tingkat terakhir di SMA.
“Belum tahu,” katanya tanpa menoleh
kepadaku. “Pengennya sih di UI.”
Entah memang semua orang ingin ke
universitas itu, atau karena semua orang sudah termakan wacana sialan yang
mengatakan bahwa lulusan perguruan tinggi negeri itu akan menjadi orang kaya raya,
apalagi jika kuliah di UI? Kadang aku merasa miris. Melihat korban tak berdosa dari
oknum yang tidak bertanggung jawab. Maksudku, orang-orang yang membuat paradigma
bajingan itu. Menganggap hanya satu-dua perguruan tinggi saja yang baik, dan
memiliki masa depan yang bagus untuk lulusannya. Taik! Bukan maksudku tidak
suka dengan UI, ataupun dendam karena tidak masuk ke sana. Tapi dengan
mendengar hampir semua teman-temanku yang masih SMA ingin masuk ke sana, mau
tak mau aku jadi mempunyai pemikiran yang seperti ini.
Maka aku tak menanggapinya, dan
kembali membuka novel ini. Tak lama ia pun keluar untuk berkumpul bersama
teman-teman yang lain. Sudah hampir ke halaman tujuh puluh aku membacanya,
sial, aku sedikit kecewa karena hampir lima puluh halaman itu menurutku membosankan.
Maka aku berhenti membaca, dan memasukan novel ini ke dalam tas. Bapak-bapak
kantoran itu sudah pulang sedari tadi, kopi hitamku sudah habis, dan kini
datang lagi dua orang dengan pakaian kemeja, celana bahan, dan sepatu pantofel mengkilat sebagai alasnya. Tebakku, ini adalah pegawai yang lain yang akan
berkeluh kesah juga. Maka untuk menghindari keluh sialan mereka itu, aku keluar
dan menghampiri teman-temanku di luar.
Di luar aku menyapa mereka, dan
duduk di antara mereka. Sejauh ini tak banyak yang kubicarakan, sebab tak ada topik
yang membuatku tertarik untuk angkat bicara. Maka aku hanya mendengarkan mereka
saja, sesekali tertawa karena guyon yang mereka buat. Cukup menghibur, namun
tetap saja merasa jenuh. Sampai akhirnya aku berpamitan dan kembali pulang ke
rumah. Semalam ini jalanan sepi, itu menjadi salah satu mengapa aku lebih
menyukai malam ketimbang waktu-waktu lain. Pertama jalanan tidak padat, kedua
tidak ada klakson bajingan. Aku bisa menikmati jalanan malam dengan sesukaku,
melajukan kendaraan motorku ini dengan kecepatan yang sesukaku juga.
Sesampainya di rumah aku langsung
merebahkan tubuh, menatap langit-langit dengan pikiran yang kemana-mana.
Memikirkan hal-hal yang sifatnya acak. Melamun memang menjadi salah satu obat
dari kejenuhan. Tapi sejauh ini, kejenuhanku masih belum dapat terobati. Aku
ini seperti tubuh yang jiwanya telah hilang. Entahlah, sulit menjelaskannya.
Terlalu banyak yang kupikirkan dan keluhkan. Bedanya, aku tidak seperti
bapak-bapak keparat yang ada di warkop tadi. Aku tidak akan mengganggu orang
yang ada di sekitarku. Tapi justru hal ini sebenarnya membuatku tersiksa.
Rasanya ingin menyudahi hidup ini saja, masuk neraka ataupun surga itu urusan
belakangan. Setidaknya jika masuk di antara kedua itu, aku tidak akan merasa
bosan. Tapi tentu saja aku tidak bunuh diri, menurutku itu juga merupakan hal
tolol. Akhirnya aku mengambil komputer jinjing dan mulai menulis hal bajingan ini.
Ketika sedang asiknya menulis,
ponselku bergetar. Tapi aku abaikan sebentar, sebelum akhirnya kulihat juga.
Ternyata dari pacarku. Astaga! Bagaimana aku bisa lupa untuk membelikannya
makanan. Aku menepuk jidat. Seketika semangat menulisku hilang begitu saja. Aku
kembali merebahkan tubuh di kasur, dan mencoba menjelaskan segalanya kepadanya.
Tapi yang sama-sama kita ketahui, perempuan jika sudah marah ya seperti macan.
Sulit sekali ditaklukan. Tapi setelah dipikir-pikir ketololanku ini cukup
menghibur juga, maka aku cekikikan sendirian.
Sodong Raya, 30 Januari 2016
Setuju banget. Kalau libur panjang dan nggak ngapa-ngapain itu bukannya menyenangkan, malah jatohnya ngebosenin. Hmm, ini fiksi bukan, sih, Put?
ReplyDeleteUdah lama nggak main kesini, nih. Tulisannya makin rapi aja. Dan, kasian itu si pacar sampe kelupaan. Hahaha.
Ya begitulah dev.. apaya, curhatan yang difiksi-fiksikan mungkin ya? haha
DeleteGue juga jarang nulis di blog sekarang dev, percuma main juga paling update-annya dikit. Alhamdulillah dong ya kalo gitu, hahaha
ahahhaah nice post , besok besok jangan lupa perintah pacar ya
ReplyDelete