Oleh
: Sukindar Putera
Aku duduk,
kemudian menatap mata ibu yang membengkak seperti habis menangis entah dari
kapan. Aku baru saja pulang, masih menggunakan kemeja, celana bahan, dan sepatu
pantofel yang baru kupinjam semalam sehari sebelum mengikuti upacara pelepasan
tingkat sekolah menengah atas.
“Bapakmu,” Dengan spontan ibu
membuka pembicaraan, kemudian ia mendekam muka dengan kedua tangannya. Ia
tersedu. Menumpahkan semua genangan yang terlihat di bola matanya. Aku tidak pernah
mendengar ibu menangis seperti itu, kecuali sedang sungkem dengan nenek ketika
menjalani tradisi maaf-maafan saat lebaran. Dan itulah suara yang tak pernah
aku harapkan, suara yang selalu membuat hatiku gelisah. Membuatku terasa ingin
ikut menangis bersama-sama, di pangkuan ibu.
“Ada apa bu?” Aku sedikit
mendesaknya karena penasaran “Bapak kenapa?” sembari melepas sepatu dan kujejerkan
rapih di sebelah meja persegi panjang yang menjadi penengah antara aku dengan ibu.
Ia tak menjawab, lantas aku hanya menunggu. Terasa seperti kecanggungan antara
orang yang baru kenal, menunggu satu sama lain untuk membuka atau membicarakan
sesuatu. Meski rasanya itu lebih baik daripada yang dirasakan olehku saat ini.
Kebekuan yang sangat janggal antar seorang ibu-anak.
Aku menarik nafas panjang, berusaha
menenangkan dirinya meski sebetulnya aku yakin tak akan ada kabar baik dengan
pembukaan yang seperti ini. “Bapakmu” kalimat pembuka dari ibu terus
terngiang-ngiang disela suara “nging” yang terasa di telinga. Aku mencoba
menerka, kemana arah pembicaraannya. Menggali-gali dan mengingat memori yang
berhubungan dengan bapak.
Dua minggu yang lalu, bapak memang
sering membicarakan masalah takdir. “Hidup-mati, rejeki, termasuk jodoh sudah
diatur oleh yang di atas,” Katanya sembari menyemburkan asap kretek. Aku hanya
termanggut. Karena menurutku itulah tanggapan yang tepat, sebab aku begitu
mengenal watak bapak yang keras kepala. Meski ia hanya pulang seminggu dua kali
karena sibuk dengan pekerjaannya yang biasa ia ceritakan, itu tidak menjadi
alasan untuk aku tidak mengenal bapak dengan baik.
Meski terkadang sudah tersusun
kalimat untuk membatah omongannya, aku lebih memilih untuk diam. Karena pernah
suatu hari, ketika aku masih sekolah menengah pertama. Aku membantah alasan Bapak
yang jarang pulang kerumah karena sibuk kerja, kemudian dia mencoba menjelaskan
lagi dengan bahasa yang lebih mudah dan sederhana. Meski aku tetap menganggap
itu tak adil, sebab kebahagiaan apapun kurang lengkap tanpa sosoknya yang
berada di rumah.
“Kamu pikir bapak senang-senang di
sana?” Kemudian ia melanjutkan “Terus kamu jajan dari mana nanti?” kemudian aku
hanya diam. Menangis. Dan berlari ke kamar seperti seorang anak kecil yang
mainannya hilang dan hendak mengadu kepada orangnya. Rasanya tidak pantas
dilakukan oleh seorang laki-laki seusiaku saat itu, namun itulah satu-satunya
cara yang dapat membuat rasa kekesalanku pergi. Sebab kemudian bapak akan
menghampiriku, mengetuk pintu kamar, dan menegurku selayak seorang ayah yang
ingin meninabobokan anaknya.
Itulah mengapa aku lebih memilih
diam, sebab tak mungkin bagiku untuk menangis dan mengurung diri seharian di
kamar lagi. Setelah bicara masalah takdir kemudian ia melanjutkan;
“Kamu harus bisa menerima segala
sesuatunya dengan lapang, karena itulah bentuk pertanggung jawaban seorang
laki-laki dewasa.”
“Maksud Bapak?”
“Ya, semisal apapun yang terjadi
kelak. Kamu harus bisa mengatasinya dengan tenang, pikiran jernih, dan menerima
segala resikonya dengan lapang dada.” Sempat diam, kemudian ia melanjutkan
“Maka dengan mudah kamu akan menemukan jalan terbaik untuk mengatasi masalah
tersebut.”
Lagi-lagi aku hanya termanggut.
Melihat mulut bapak yang kehitaman akibat noda rokok, sibuk menghisap dan
menyemburkan asap kretek sedari tadi.
Dan itulah yang dapat teringat
olehku, memori yang dapat tergali dan berhubungan dengan kalimat pembuka ibu
yang kemudian membuatnya menangis. Aku mulai menyadari, meraba arah pembicaraan
dan masalah yang sedang terjadi sedikit demi sedikit. Terakhir bapak pulang ke
rumah, mereka tampak tidak seperti biasanya. Aku melihatnya seperti kedua
patung yang saling berhadapan saja, tidak ada percakapan sama sekali.
Sebelumnya tidak pernah seperti itu, kecuali mereka memiliki masalah serius
yang sampai sekarang aku tidak tahu. Dan pada akhirnya membuat ibu seperti ini.
Aku
menggeser posisi duduk, lebih dekat kepada ibu. Dengan nada yang sangat rendah aku
mencoba memberanikan diri untuk bertanya lagi.
“Kenapa bu?” Aku mulai sedikit geram
“Emang ibu diapain sama bapak?”
Untuk pertanyaan terakhir, aku
benar-benar memberanikan diri untuk berprasangka. Benar saja, tangisan ibu
semakin terdengar kencang. Aku tidak tega. Hatiku benar-benar ngilu mendengar
suaranya yang biasa terasa sangat hangat, seketika berubah meraung sangat mengerikan.
Seolah tangisan itu berkata “Ini semua gara-gara bapakmu!” Dadaku terasa begitu
sesak, akan lebih sesak jika prasangka itu mungkin benar-benar di iya-kan oleh Ibu.
“Bu?” Aku mengulang pertanyaan untuk
kesekian kalinya, menatap wajah ibu dengan tatapan seorang pengemis yang
berharap diberikan selembar dualembar uang ribuan.
“Bapakmu..” Kemudian kami berdua
diam. Setelah tarikan nafas panjang ibu yang terbata-bata, ia melanjutkan “Bapakmu
nikah lagi.”
Seperti ada sebuah bola yang
beratnya berton-ton mengayun menghantam dadaku, bukan main sesaknya. Aku begitu
terhenyak. Membeku sepersekian detik, sebelum menarik nafas yang panjang. Aku
tak berani menatapnya, meski kami sebetulnya saling tahu kedua tatapan itu
adalah ekspresi paling menyedihkan yang pernah terbentuk di raut wajah kami. Terlebih
prasangka tentang bapak itu benar.
“Ibu tau dari mana?” Aku mencoba
bertanya dengan tenang. Meski akhirnya aku menyadari, itu adalah pertanyaan tolol
yang tidak sama sekali merubah keadaan atau lebih tepatnya kenyataan. Aku
menyesal menanyakan hal itu kepada ibu yang tengah menangis sejadi-jadinya. Benar
saja, ia tidak menjawab. Masih menutup wajahnya dengan kedua tangan. Aku turun
dari kursi dan menggantung di pangkuan ibu. Mencoba menenangkan, meski sebetulnya
aku sendiri telah disusahkan oleh kekacauan yang ada di hati.
Kemudian kami berdiri, aku menuntun ibu
ke kamar dan membiarkannya tertidur setelah menangis hampir setengah jam.
Setelah menyelimuti ibu, aku pergi ke kamar. Disaat itulah bendungan yang
sedari tadi menahan air mataku jebol, dengan cepat jatuh menyisiri pipi. Aku
menangis mirip seperti bocah yang terpisah dari kedua orang tuanya, di sebuah
tempat taman bermain. Bibirku bergetar, wajahku terasa seperti mengkerut hingga
menghilang dan tak akan terlihat lagi. Dan kemudian aku meringkuk di kamar,
sambil memeluk sebuah guling yang ada di kasur.
Benar-benar
tidak mencerminkan sebagaimana laki-laki yang selalu digambarkan oleh Bapak. Seorang
laki-laki yang tenang dalam menghadapi masalah, dan lapang untuk menerima
segala resiko apapun yang didapatkannya. Aku malah menangis sejadi-jadinya. Seolah
aku tak pernah mengenal dan tahu apa itu laki-laki dewasa. Bahkan aku tak
perduli jenis kelamin apa yang kumiliki, dan bagaimana seharusnya aku
bertingkah.
Yang
aku inginkan adalah ketukan itu, ketukan yang biasa bapak lakukan ketika aku
sedang meringkuk menangis di dalam kamar. Kemudian disapanya aku sebagaimana
sapaan seorang ayah yang ingin meninabobokan anaknya.
Dan
hanya cara itulah yang dapat menenangkan hatiku saat ini. Hal yang dibutuhkan
seorang laki-laki yang sedang mencoba menjadi dewasa, seperti apa yang selalu
di harapkan oleh Bapaknya.
Sodong
Raya, 6 Desember 2015
Putraa ini postingan lo yg pertama kali gue baca, dan berhasil bikin gue nangis..
ReplyDeleteYah gue harus apa dong...
Delete