URUSAN
TUHAN
Oleh
Sukindar Putera
Setelah
menahan perut yang sedari tadi keroncongan, aku dan temanku akhirnya memutuskan
untuk pergi mencari makan di pinggir jalan. Maklum, semalam ini kantin kampus sudah
pada tutup, jadi mau tak mau kami harus berjalan keluar melewati jembatan
penyebrangan untuk sampai ke sana. Di jembatan penyebrangan aku
melihat seorang perempuan paruh baya yang sedang duduk bersandar, menggendong seorang bayi yang sedang tertidur, dengan gelas plastik di
hadapannya yang berisikan uang receh.
Ketika kami ingin
melewatinya, temanku mengeluarkan uang limaratus rupiah dan menaruhnya ke dalam gelas
plastik itu. Kemudian pengemis itu mendoakannya, berharap kepada Tuhan semoga
temanku akan dilimpahkan rejeki yang banyak, diberikan kesehatan, dan apalah yang baik-baik untuknya. Setelah kami melewati pengemis itu aku membuka
pembicaraan.
“Apa kau tidak pernah
memperhatikan?” Aku meloloskan sebatang rokok terlebih dahulu, “Bayi yang
berada di pangkuannya?” Kemudian aku menawarkan rokok kepadanya.
“Apa maksudmu?” Ia
mengangkat tangan kanannya, tanda bahwa ia menolak penawaranku. “Bukankah itu
hal yang wajar? Manusia akan tidur jika ia sudah merasa lelah, dan mungkin bayi
itu sudah lelah.”
Aku sedikit tertawa
mendengar penjelasannya. Entah memang ia yang tolol, atau benar-benar tidak tahu. “Jika kau perhatikan, bayi itu selalu tertidur
sepanjang hari.” Aku mencoba memberikan penjelasan “Bayangkan saja. Pengemis
itu selalu membawa bayinya kemana-mana, dari pagi hingga malam hanya untuk
membuat orang-orang iba melihatnya. Jika tak ada yang janggal, bayi itu jelas
akan menangis entah karena panas, dingin, atau lapar. Dan kau tahu apa yang
membuatnya tidak menangis? Bayi itu diberi heroin, atau vodka agar tertidur
sepanjang hari.”
“Ohya?” Ia memastikan, dengan wajah datarnya yang menyebalkan. Aku mengangguk untuk meyakinkan. “Mengerikan,”
Katanya “Kalau begitu anggap saja pengemis barusan tidak memberikan vodka
ataupun heroin, sehingga bayi yang berada di pangkuannya tertidur karena memang
lelah,” Kemudian ia tersenyum. Aku mengangkat bahu.
Kami berbelok untuk
menuruni tangga jembatan penyebrangan, tak jauh dari sana aku mendapati warung pecel ayam. Kami masuk dan segera duduk
di pojok kursi kayu yang memanjang, tepat di depan etalase yang berjejerkan paha ayam dan lele. Maklum, agar lebih mudah memilih ayam atau lele yang ukurannya
besar.
“Dari pada saya
membunuh, mencopet, dan memperkosa-” Tiba-tiba saja suara itu membuatku
sedikit terkejut dan refleks menoleh ke arah sumber suara. Ternyata suara itu
berasal dari pengamen, dan setelah menyelesaikan kalimat pembukanya itu ia
menyanyikan sebuah lagu dengan nada yang begitu monoton.
Terang saja wajah orang yang sedang makan di sini langsung kikuk setelah
mendengar itu, kalimat pembuka macam itu jika dicermati baik-baik seolah
bermakna “Bagi uang kalau tidak ingin terjadi apa-apa!” Dan dugaanku terbukti
ketika ia telah selesai bernyanyi, orang-orang tak ragu untuk memberikannya
recehan termasuk temanku. Lagi-lagi ia memberikan limaratus rupiah.
“Pengamen seperti itu
seharusnya jangan dikasih uang. Mau ngamen kok pake ngancam segala,” Temanku
hanya tersenyum ketika aku mengomentari pengamen itu. Tak lama dua piring pecel
ayam disajikan, dan tanpa pikir panjang kami langsung menyantapnya. Bagian menyebalkan ketika kami sedang makan di tempat seperti ini adalah pengamen dan pengemis yang tak henti-hentinya keluar-masuk.
Sudah dua pengamen dan pengemis yang datang selagi kami makan, dan dalam jumlah yang sama temankku selalu memberi uang limaratus kepada mereka masing-masing.
“Kau ini kebanyakan
uang atau gimana sih?” Kataku setelah selesai menyantap makanan.
“Tak apa, selagi ada,
kenapa tidak?” Katanya sambil mengangkat bahu
“Tidak semua pengamen
atau pengemis itu orang yang benar-benar membutuhkan sedekah. Seperti apa yang
aku contohkan di jembatan penyebrangan tadi,” Aku menyeka sisa makanan yang ada
di mulutku dengan tisu “Bahkan di dekat rumahku, ada seorang pengemis yang
meminta uang dengan berpura-pura menjadi seorang sukarelawan untuk anak yatim
piatu. Padahal sebenarnya uang yang didapatnya digunakan untuk bermain warnet.”
Ia malah cekikikan
setelah mendengar penjelasanku, “Bagaimana kau bisa tahu kalau ia menggunakan uang
itu untuk bermain warnet?”
“Saat ingin mencetak tugas kuliah, aku bertemu dengannya. Kau tahu, dia sedang asik bermain gim dengan teman-temannya yang lain. Asu!”
Kali ini tawanya
semakin lepas. Aku tak menanggapinya dan segera membayar semua pesananku.
Disusul temanku yang juga membayar pesanannya. Setelahnya kami kembali ke
kampus , dengan melewati jalan yang sama.
Ketika berada di atas
jembatan penyebrangan, aku melihat sesuatu yang janggal. Wajah pengemis itu
tampak berbeda dari sebelumnnya, padahal anak yang di pangkuannya masih sama
seperti ketika aku berangkat tadi. Apa jangan-jangan pengemis yang ini adalah
penggati pengemis sebelumnya? Seperti dalam permainan bola saja.
“Loh kok perempuan itu terlihat beda ya?”
Temanku berbisik, sembari melihat wajah pengemis itu lamat-lamat.
“Jangan melihatnya
seperti itu!” Kataku membalas bisikannya, “Iya aku juga menyadarinya.” Setelah
cukup jauh dari pengemis itu, aku kembali melanjutkan. “Apaku bilang. Pengemis
itu tidak benar. Kasihan sekali bayi itu, ia hanya menjadi objek agar pengemis itu tampak
lebih mudah dikasihani!” Aku meloloskan sebatang rokok lagi “Seharusnya kau
tidak memberikan uang kepadanya.”
“Yasudahlah. Mau
bagaimana? Jika aku punya uang dan ingin sedekah, maka aku akan memberikan uang
itu kepada pengemis, atau pengamen yang terlihat membutuhkan. Setelahnya apa
yang mereka lakukan dengan uang itu, ya, bukan urusanku. Urusanku kuanggap
telah selesai ketika mendapatkan ketenangan.”
“Tapi banyak pengemis
atau pengamen yang lebih kaya dari pada yang menyedekahinya, seperti pada kasus
pengemis yang punya rumah besar di Sukabumi itu.” Aku melanjutkan “Enak sekali
ya. Kalau begitu aku lebih baik jadi pengemis saja, yang penghasilannya bisa
puluhan juta dalam sebulan!”
“Ya, tak perlu kau
pikirkan. Biar itu menjadi urusannya dengan Tuhan.”
Kali ini aku yang
cekikikan. “Dengan bicara seperti itu kau malah terlihat tidak ikhlas.”
“Masalah ikhlas nggak
ikhlas, manusia tidak bisa menilai. Aku rasa itu hanya urusan Tuhan saja,
lagipula balik lagi pada tujuanmu memberikan mereka uang. Kalau kau ingin sedekah,
ya beri mereka uang. Kalau tidak ingin memberikan uang, tidak perlu berburuk
sangka. Mudah kan?” Ia menggaruk hidungnya “Rokokmu masih ada?” Tambahnya lagi
“Tapi sulit karena kita
sudah sama-sama tahu kenyataan yang sebenarnya, bahwa profesi mereka sebagai
pengemis atau pengamen itu hampir kebanyakan disalahgunakan,” Aku memberikannya
sebatang rokok, dan pemantik kepadanya.
“Tidak juga. Lagipula
kita tidak tahu apa yang dilakukan pengemis di jembatan tadi. Ya berprasangka
baik saja, itulah mengapa kita diminta untuk selalu berprasangka baik terhadap
sesuatu. Itung-itung mensucikan diri dari sikap dengki, yang membuat kita
selalu memandang segalanya hanya lewat keburukan saja.”
“Kau ini cocok sekali
mengisi ceramah di masjid-masjid ya,” Tawaku tergelak, “Tapi, kira-kira kemana
ya perginya si pengemis itu?”
“Entahlah,” Ia
menghisap rokoknya dalam-dalam, dan menghembuskannya ke atas “Mungkin sedang
membeli vodka, atau heroin,” Katanya yang membuat tawaku semakin tergelak.
Sodong
Raya, 10 Januari 2016
You're really a good writer. Nice to know that i can read yours, accidentally. Keep writing anyway
ReplyDelete