Oleh
Sukindar Putera
BARU SAJA DATANG,
temanku langsung menyodorkan ponselnya. Seperti apa yang ia bilang tadi
ditelepon “Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, cepat datang ke rumahku!”
Dan mungkin ini adalah maksudnya, sebuah foto yang di dalamnnya terlihat
sepiring nasi goreng lengkap dengan tetek bengeknya di atas meja. Tapi di bawah
meja itu terlihat seperti wajah seseorang, yang buruk rupa tentunya. Kulitnya
gosong sekali, bola matanya putih semua, dan terlihat seperti sedang menyeringai
ke arah kamera.
“Benerkan,” Katanya berlagak seperti
seorang penjual yang menunjukkan brosur diskonan kepada orang-orang yang lewat
di depan tokonya, “hantu itu ada men!”
tambahnya.
Aku diam sebentar. Sejujurnya aku lebih
tertarik kepada nasi gorengnya, dan alasan kenapa ia memotret nasi goreng itu.
“Ini kau yang buat?” tentu saja itu bukan pertanyaan untuk dijawab, sebab aku
tahu kalau ia memang gemar memasak. Yang tidak kuketahui adalah, kini ia mulai
gemar memotret juga. “Kenapa kau memotret nasi goreng? Kaya nggak ada objek
lain aja.” Kataku yang membuat raut wajahnya berubah.
“Ah kau ini salah fokus!” Katanya
sambil menggoyangkan ponselnya, seolah-olah ponsel itu berkata “Lihat dengan
cermat, tolol!” Kemudian aku melihatnya lagi, memandangi wajah yang katanya hantu
itu. Kemudian aku mencocokkan foto itu dengan keadaan sebenarnya. Setelah
berkali-kali melempar pandangan ke foto dan keadaan sebenarnya, aku dapat
menarik kesimpulan.
“Lihat baik-baik,” kataku sambil
mengembalikan ponselnya “Yang terlihat seperti wajah ini adalah guci yang
bermotif bunga,” Aku menunjukkan kepadanya “Tuh, lihat. Mata yang terlihat di
foto adalah inti sari bunga, senyum yang menyeringai adalah tangkai yang
mengelilingi kedua bunga, dan kulit gosongnya adalah warna dasar guci itu.
Semua itu terlihat begitu menyeramkan, karena kau shaking saat mengambil gambar, maka hasilnya pun menjadi blur,” aku memegang pundaknya “saranku
kau harus ikut pelatihan fotografi” tawaku tergelak.
Ia menggaruk kepalanya, kemudian
memperhatikan guci yang ada di bawah meja makannya. Seolah kalimatku yang
keluar barusan, masih dicerna secara perlahan oleh otaknya. Sehingga butuh
sepuluh detik untuk ia menanggapi komentarku, “benar juga ya,” katanya sambil
ikut tertawa yang terlihat begitu memaksa.
***
“Kemarilah!” Dari cara bicaranya
yang semangat, itu pasti temanku, “Kali ini kau akan melihat yang lebih gila.”
Orang ini memang terlalu berlebihan.
Paling-paling yang ingin ia tunjukkan foto hantu lagi seperti minggu kemarin,
atau mungkin video? Entahlah, apapun itu yang pasti ujung-ujungnya adalah
hantu. “Ini sudah terlalu larut,” kataku sambil melihat jam dinding yang kini
sudah menunjukkan setengah duabelas.
“Tak apa. Cepat, kemarilah!” Belum
sempat menjawab, ia sudah menutup teleponnya. Bagaimanapun aku tak mungkin
menolaknya, karena ia sering membantuku untuk menerjemahkan cerita pendek, atau
puisi yang menggunakan bahasa inggirs. Itung-itung balas budi. Setelahnya, aku
keluar rumah.
Rumahku dan rumahnya berjarak tak
begitu jauh, kira-kira harus melewati tigabelas rumah dulu. Maka aku memilih
untuk berjalan saja. Malam hari seperti ini selalu menyenangkan untuk berjalan,
lampu jalan yang terletak di sisi-sisi jalan seolah menuntunku ke suatu arah.
Suara serangga bersaut-sautan. Sewaktu kecil aku pernah bertanya suara itu
kepada orangtuaku, kadang mereka menjawab itu adalah suara jangkrik, kadang
kumbang angin, kadang wangsit, pokoknya tak pernah sama setiap malamnnya.
Hingga akhirnya aku menyebut itu serangga saja.
Perumahan ini terhitung baru, jadi
masih banyak rumah yang belum ada penghuninya. Kalau siang menjelang sore di
hari biasa, perumahan ini hanya dipenuhi oleh anak-anak yang bermain sepatu
roda atau sepedah. Jika hari libur, tempat ini biasa digunakan untuk latihan
berkendara mobil. Tapi jika matahari sudah tenggelam, hari biasa ataupun libur
sama saja; sepi seperti pemakaman. Aku sangat jarang bertemu seseorang jika
sudah malam begini, paling-paling satpam perumahan yang suka berkeliling dengan
sepedahnya.
“Kemana malam-malam begini, Mas,”
suara itu benar-benar mengagetkanku, kemudian terdengar suara bel sepedah yang
menggema.
“Panjang umur,” kalimat itu keluar
begitu saja setelah menyadari ternyata suara Pak satpam yang suka berkeliling.
“Apanya yang panjang umur?” Kemudian
ia tersenyum. Tentu aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, jadi aku hanya
membalas senyumnnya saja. “Tidak takut hantu?” Ia melanjutkan.
Hantu? Aku percaya itu ada, tapi aku
tidak punya alasan untuk takut kepadanya. Tidak seperti temanku yang selalu mendeskripsikan
hantu menjadi ini-itu. Dari buku yang pernah kubaca, wujud hantu yang
menyeramkan itu karena konsep di alam bawah sadar yang terbentuk akibat
penggambaran-penggambaran dari orang-orang terdahulu. Dan hantu dapat berubah
wujud menjadi apa yang di takuti orang-orang banyak. Maka dari itu aku tak
pernah mendengar pocong ada di Amerika, Belanda, ataupun Bosnia. Setiap negara
pasti memiliki wujud hantu yang berbeda-beda, seperti slenderman, boogieman, bigfoot, dan nama-nama lain. Aku sendiri
tak pernah perduli dengan wujud-wujud hantu itu. Seperti halnya ketika aku
mendengar seseorang menyebut nama Tuhan, maka yang ada di otakku adalah
ketiadaan. Tidak ada sama sekali sesuatu yang dapat menggambarkan nama itu.
Maka aku hanya menggeleng untuk menjawab
pertanyaan Pak satpam. Lagi-lagi ia tersenyum, “Baiklah, saya duluan ya, Mas.
Kemudian ia mengayun sepedahnya. Perlahan-lahan ia melaju lebih cepat dan
hilang di pertigaan ujung jalan. Tak terasa aku sudah berada di depan rumah
temanku. Aku merogoh ponsel dari saku, dan memberikan pesan singkat yang
memberitahu bahwa aku sudah di depan rumahnya. Tak lama terdengar seseorang
yang sedang membuka kunci, dan ia keluar dengan pakaian tidurnya.
“Foto hantu lagi?” Kataku mencoba
menebak sesuatu yang ia ingin beritahu. Tapi ia menggeleng. “Lalu apa?” Aku
kebingungan.
“Tadi sore ibuku cerita,” Ia menoleh
ke kanan dan ke kiri jalan, “Tentanggaku semalam di godai hantu perut bolong,”
Aku menepuk jidat. Apa lagi hantu
semacam itu, aku yang tidak pernah perduli atau orang-orang yang semakin
tergila-gila dengan hantu sih.
“Katanya, ketika tengah berjalan di
perumahan ini setelah pulang lembur kerja. Ia mendengar sesuatu seperti bel
sepeda. Kemudian ia terkejut setelah menoleh dan melihat seorang laki-laki, yang
menggunakan seragam satpam sedang menatapnya dengan bengis. Di perutnya
terdapat lubang yang darahnya masih segar, serta belatung yang menggeliat menggerogotinya.”
“Loh, bukannya memang ada penjaga
satpam keliling? Mungkin dia berhalusinasi karena kelelahan!” Aku memotong
ceritanya yang terdengar begitu berlebihan.
“Mana ada sejarahnya perumahan ini
punya satpam keliling,” kali ini ia berlagak sedikit menyebalkan, “perumahan
inikan dijaga cuman sama hansip, dan dia terkenal malas untuk berkeliling menggunakan
sepeda,” Setelah diam sebentar ia melanjutkan “Lagipula hansip itu sudah
diberhentikan kerja oleh Pak RT kemarin.”
Kali ini aku tertegun. Kalau
dipikir-pikir benar juga, aku tidak pernah memperhatikan tubuh Pak satpam itu.
Lalu yang sering kujumpai ketika sedang merokok diluar rumah itu siapa? Sial.
Bulu kudukku mekar. Tubuhku terasa seperti diserang suhu minus seratus derajat,
bergidik bukan main.
“Ohya, sebetulnya aku mau
menunjukkanmu hantu yang kudapatkan lewat video kamera ponselku,” sempat
lengang sesaat ia melanjutkan “akupun tak menyangka ada sosok perempuan yang
rambutnya menjuntai itu di rumahku, kali ini kau akan yakin itu adalah hantu!”
“Mengerikan,” bibirku refleks
melafalkan kalimat itu. Tentu saja bukan karena video yang diceritakan oleh
temanku, tapi aku membayangkan perbincangan tadi dengan Pak satpam. Sepintas
terlintas senyum ramahnya di layar mataku.
Temanku sedikit tertawa, seolah puas sekali
mendengar kalimat itu. “Bagaimana kalau kau menginap malam ini?”
“Ide
yang bagus.”
Sodong
Raya, 28 Desember 2015
Comments
Post a Comment